Beberapa foto hitam putih berukuran cukup besar yang ditempelkan di dinding sebuah hotel di Banjarmasin, sangat menarik minatku untuk berlama-lama berdiri mengamatinya satu per satu.
Foto-foto itu merupakan beberapa rekaman tempat dan bangunan tempo dulu di kota Banjarmasin, yang keberadaannya kini tak bisa lagi ditemukan, karena sudah sangat jauh berubah, tergantikan dengan bangunan baru dan modern.
Angan dan pikiranku pun melayang membayangkan suasana Banjarmasin yang dulu masih asri dan alami dengan bentuk bangunan yang unik. Aku pun membayangkan anak-anak sungai yang mengalir hingga kedalam kota, dilayari oleh perahu. Tapi kini anak-anak sungai itu menjadi sempit tertutup oleh bangunan, airnya pun tampak kotor. “Ah, andai anak sungai itu dipelihara dengan baik, mungkin Banjarmasin dapat seperti kota Venezia di Italia,” khayalku.
Jika mengingat banyaknya bangunan-bangunan tua yang masih terpelihara dengan baik di beberapa kota di pulau Jawa, aku merasakan iri, kenapa bangunan-bangunan kuno itu justru di Banjarmasin dihancurkan begitu saja tanpa memikirkan nilai-nilai historis yang dapat diwariskan kepada para generasi kemudian (?)
Tak ada bangunan yang menjadi trade mark Banjarmasin. Yang dijadikan trade mark adalah justru kegiatan masyarakat di sungai Barito, yaitu pasar terapung. Kegiatan ini kupikir lama kelamaan pun jika tak dikelola dengan baik, akan hilang.
Mengingat pulau Kalimantan yang sangat luas, penataan kota, pembangunan berbagai fasilitas, rasanya tak perlu menghancurkan bangunan kuno, tapi mencari lahan lain yang masih banyak kosong.
Modernisasi tentu sangat dibutuhkan di berbagai bidang, tapi tentunya tetap memelihara peninggalan yang mengandung historis.
Foto-foto tempo dulu di dinding hotel itu membuatku sedih, sedih mengingat betapa kita tak menghargai hasil karya orang-orang terdahulu, sedih karena kita dengan mudahnya mengubur sejarah.