SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Saya Tak Bersedia Menerima Imbalan dari Uang Milik Setan - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Minggu, 30 Maret 2014

Saya Tak Bersedia Menerima Imbalan dari Uang Milik Setan

Minah hanyalah seorang pelayan warung makan merangkap warung kopi dan teh di desa dimana ia tinggal. Hanya saja Minah dikaruniai wajah cantik, kulit bersih dan tubuh sintal, sehingga banyak mata pria yang seolah terpaku dan ingin loncat keluar ketika memandang dan menatapnya.

Minah seolah penjelmaan seorang bidadari yang salah tempat. Tapi Minah tetap Minah, seorang wanita muda yang berpendidikan seadanya, lugu.

Tak terhitung pria yang rela menjadi pelanggan warung dimana Minah ikut berkerja, supaya dapat menikmati wajah cantik dan kemolekan tubuh Minah. Dari remaja tanggung yang mulai tumbuh kumis, pemuda lajang pengangguran yang sok berduit, suami-suami yang kurang terkontrol istri, hingga pria yang sudah layak dapat sebutan kakek, aki, mbah atau sejenisnya, pernah melancarkan rayuan untuk bisa mendapatkan perhatian khusus dan istimewa dari Minah.

Meski Minah mulanya sekuat perasaan bertahan dari segala bujuk rayu para penggoda itu, akhirnya ia luluh dan takluk juga di tangan Arif, seorang pria beristri yang selalu berpenampilan parlente, flamboyan dan sangat royal bagi-bagi fulus ke siapa saja yang ia kenal. Diam-diam melalui silent operation, Arif dan Minah pun membuat janji bersama akan bertemu di sebuah hotel di kota kabupaten. Singkat cerita pada hari H, mereka berdua pun bertemu di hotel. Dengan sebuah jurus ampuhnya, Arif pun mendapatkan apa yang selama ini selalu ia bayangkan tentang Minah. Arif puas, Minah pun memperoleh imbalannya, Arif memberinya uang sebanyak sepuluh juta, jumlah yang tak pernah Minah bayangkan dapat memilikinya. Tapi apa lacur, belum sempat Minah menikmati hasil dari “pelayanannya” itu, tiba-tiba hotel kedatangan para penegak hukum. Arif ditangkap, ia yang menjabat sebagai Kepala Desa di kampungnya itu dituduh terkena kasus suap, gratifikasi dan pencucian uang. Minah pun ikut terkena imbasnya. Uang pemberian Arif pun disita aparat. Tak berhenti sampai disitu, aparat pun menelisik apa saja pemberian Arif ke Minah.


Minah galau, gundah, sedih dan berbagai perasaan sejenis menghinggapinya. Minah padahal tidak tahu menahu urusan Arif. Ia tak tahu apa itu suap terkecuali menyuapkan nasi ke mulut adiknya. Ia juga baru mendengar kata gratifiasi, yang Minah pernah dengar adalah gravitasi. Apalagi pencucian uang, Minah jadi bingung. Setahunya yang biasa dicuci itu adalah pakaian, perabotan dapur, muka, tangan, kaki, serta barang-barang yang memang lazim untuk dicuci. Sudahlah, Minah memang tidak tahu apa-apa tentang semua itu, tapi ia tetap terseret dan terlibat dalam perkara Arif. Minah jelas tidak etis, bahkan tidak mungkin bertanya ke Arif tentang uang yang ia miliki berasal dari mana.

Ternyata nasib seperti Minah juga dialami oleh yang lain. Sebut saja namanya Sri, ia ini seorang penyanyi dangdut yang sering manggung antar kampung, istilahnya penyanyi tarkam. Sri tidak saja piawai bernyanyi, selain cukup cantik dan masih muda pula, goyangannya pun maut tak kalah dari Inul Daratista, Tiga Macan, Tiga Kucing, Zaskia Gotik, dan sejenisnya.

Sri juga ikut didatangi aparat penegak hukum. Ia diduga telah menerima sejumlah uang dari Arif yang dianggap sebagai bagian dari perkara pencucian uang. Sama seperti Minah, Sri pun tak mengerti apa-apa. Ia tahunya bernyanyi dan bergoyang, lalu dibayar oleh orang yang memesannya. Ceritanya Sri ini pernah dipakai oleh Arif untuk berkampanye menjelang pemilihan kepala desa. Uang yang diberikan oleh Arif sebagai pembayar jasa menyanyi dan bergoyang pun ditelisik oleh aparat penegak hukum, dan tak menutup kemungkinan akan disita dari tangan Sri.

Kasian Minah dan Sri. Mereka tak tahu dan tak mengerti apa-apa terkait pekerjaan orang lain. Minah sudah memberikan “servis” kepada Arif, ia layak memperoleh imbalan tak peduli apakah Arif pakai duit jin ataupun setan. Begitu pun Sri, lantunan lagu dan goyangannya di atas panggung yang telah menguras tenaga dan keringat, jelas harus dibayar sebagai imbalan, ia tahunya dibayar meski Arif membayarnya dengan duit hasil menguras celengan dewa, dedemit, lelembut atau siapapun.

Cerita di atas cuma rekaan saja, jika dalam kehidupan nyata ada yang seperti itu, kebetulan saja.

Pertanyaannya adalah; sebelum kita menerima imbalan dari sebuah pelayanan dan hasil berkerja, apakah kita mesti bertanya “ini duit dari mana dan hasil dari apa ?” Lalu kita membuat pernyataan; “saya tak mau menerima duit dari hasil sumber-sumber ilegal”, “saya tidak bersedia menerima duit dari hasil-hasil KKN”, atau “apakah imbalan yang saya terima ini terkait dengan praktik pencucian uang ?”

Adakah pernyataan dan pertanyaan itu pernah kita lontarkan ketika kita menerima imbalan hasil berkerja dari menggali parit rumah tetangga, menjahitkan pakaian pelanggan, usai menyanyi di perayaan ulang tahun anak kenalan, atau perusahaan di tempat kita berkerja ? Tidak menutup kemungkinan sebuah perusahaan pun yang bidang usahanya jelas dan dengan sekian banyak karyawan, digunakan sebagai tempat untuk praktik pencucian uang oleh para koruptor yang menjadi bagian dari kekuasaan maupun yang sudah lengser dari kekuasaan (?)