Kemana mengalirnya BBM bersubsidi ?
Tak ada hari tanpa sepi antrian mobil maupun sepeda motor yang panjang di SPBU. Antrian tersebut sangat mengganggu lalulintas, karena memakai badan jalan umum. Baik di jalur masuk pompa untuk BBM jenis Solar maupun Bensin, sama saja, antrian panjang.
Sebagian besar dari kendaraan bermotor yang antri tersebut, hanya sebagian kecil yang memang benar-benar perlu mengisi BBM sesuai keperluan. Sebagian besar lagi, mengisi BBM dalam jumlah besar; justru untuk diperjual belikan.
Solar dibeli dari SPBU dengan harga sedikit lebih mahal dari harga bersubsidi (Rp 4.600 per liter, Rp 100 diperuntukkan bagi operator pengisi BBM), lalu dijual lagi ke para pengumpul, kemudian dijual ke pengusaha tambang batubara dengan harga sedikit dibawah harga industri.
Adapun untuk jenis Bensin, BBM ini pun dibeli dari SPBU; ada yang dengan harga normal, ada pula dengan harga yang sedikit lebih mahal, lagi-lagi untuk memberi petugas pengisi.
Bensin pun diperjual belikan kepada para pedagang eceran yang membuka kios-kios di tepi jalan. Para pengecer tersebut menjual kepada pembeli seharga antara Rp 6.000, Rp 7.000, hingga mencapai Rp 10.000 per liter (tergantung ketersediaan Bensin di SPBU).
Solar bersubsidi mengalir ke tambang-tambang batubara.
Keberadaan usaha di bidang pertambangan yang pengusahanya hampir mencapai ratusan, adalah pangsa pasar tersendiri dan tetap bagi tempat mengalirnya Solar bersubsidi. Mengalirnya Solar bersubsidi tersebut, yaitu melalui para pembeli awal, pengumpul, penyalur, dan penambang.
Selain mendapat pasokan Solar dari hasil pembelian di SPBU, para penambang juga memperoleh pasokan Solar dari kapal-kapal tarik (tugboat) yang menjual Solarnya ke pembeli di tengah laut.
Istilah jual beli Solar di tengah laut ini istilahnya “kencing”.
“Kencing” Solar dari kapal-kapal tarik tersebut, hasilnya akan dibagi ke para awak kapal. Mereka itu telah menjual aset perusahaan pemilik kapal tanpa sepengetahuan perusahaan tentunya. Apa namanya ? Kalau bukan tindakan pencurian, bisa pula disebut tindak pidana penggelapan.
BBM bersubsidi selalu kurang.
Jika melihat kondisi sedemikian rupa, berapapun BBM bersubsidi yang dipasok oleh Pertamina ke tiap-tiap SPBU, pasti akan selalu kurang. Jelas kurang, yang merasakan kurang adalah para konsumen umum yang memang benar-benar memerlukan untuk mengisi kendaraan bermotor mereka yang bukan untuk diperjual belikan. Adapun yang paling menikmati keberadaan BBM bersubsidi adalah mereka yang mencari nafkah disitu dengan menyalah gunakannya; memperjual belikannya lagi untuk keperluan lain sehingga mendapat keuntungan yang tak sedikit.
Oknum SPBU dan Polisi juga kebagian untung.
Oknum petugas di SPBU yang paling diuntungkan tentu saja petugas operator di bagian pompa yang mengisi ke para pembeli. Bagi pembeli yang ingin membeli BBM dalam jumlah banyak untuk keperluan dijual lagi, ia mesti “menyogok” petugas pengisi. Selain itu terdapat juga petugas yang langsung ikut “bermain”, menyediakan armada sendiri yang ikut membeli BBM, tentunya dengan menggunakan orang lain.
Selain itu keberadaan petugas dari kepolisian setempat. Ia juga mendapatkan keuntungan dari kegiatan penyalah gunaan BBM di SPBU itu. Jika kegiatan ingin berlangsung terus menerus dan aman, sudah pasti harus “menyogok” dan koordinasi dengan petugas kepolisian yang ditempatkan di SPBU.
Itulah gambaran kondisi yang terjadi di daerah kami; di bagian tenggara pulau Kalimantan, tepatnya di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru. Kondisi seperti ini pun juga hampir sama dialami oleh beberapa wilayah Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan.
*Tulisan ini pertama kali dimunculkan di Kompasiana pada 22 April 2013, dan menjadi Headline