“Pap, mama ingat ibu di kampung,” lirih istriku sambil duduk di sampingku.
Aku cuma bisa diam dan memandang sejenak ke wajah istriku.
Aku tahu perasaan istriku saat itu, ia sedang teringat ibunya, mendiang ayahnya, sanak saudaranya di kampungnya nun jauh di seberang pulau dimana kami tinggal kini.
Dalam benak istriku pastilah terbayang saat masa kecilnya ketika menyambut datang hari Natal dan kemudian merayakannya bersama keluarga, bersama sanak kerabat, dan teman-temannya, seperti halnya aku dulu merayakan Idul Fitri bersama keluargaku dan teman-teman.
Suara presenter televisi terdengar sangat jelas di telinga kami, menyiarkan aktivitas para selebriti negeri ini dalam menyambut dan mempersiapkan Natal. Ini makin membuat istriku tambah murung dan menampakkan wajah sedih.
“Huh, sangat ramai di kampung merayakan Natal,” gumam istriku.
“Sudahlah sayang, lupakan saja, sebagai gantinya mami kan sudah merayakan Idul Fitri,” hiburku.
Wajah istriku sejenak menampakkan senyum kecut mendengar penghiburanku.
Itu suasana menjelang perayaan Natal 2 tahun lalu, Natal yang tak akan dirayakan oleh istriku lagi selama hidupnya. Sejak menikah denganku, istriku telah mengganti Natal yang berpuluh tahun ia rayakan bersama keluarga dan sanak kerabatnya dengan perayaan Idul Fitri.
Menjelang perayaan Natal tahun ini, meski istriku masih mengingatnya, ia mengingat dan membayangkan perayaan Natal itu ketika masih merayakannya dulu. Ia membayangkan wajah-wajah ceria ibunya, saudara-saudaranya, serta sanak kerabatnya menyambut dan merayakan Natal.