Pertanyaannya adalah; kenapa warga Kalsel tidak bersatu menekan Pemerintah, yang dalam hal ini Pemerintah Pusat untuk serius dan segera memperbaiki jalan di Km 171 itu, yang longsor oleh akibat dari aktivitas pertambangan di kanan kirinya.
Sudah sangat sering terjadi kecelakaan lalulintas sejak adanya jalan alternatif yang dibangun dan diperuntukkan sesuai dengan namanya itu, yang mana menggunakan anggaran daerah dibantu oleh sejumlah pihak perusahaan.
Pemprop Kalsel apalagi Pemkab Tanah Bumbu seolah telah kehilangan daya tekan terhadap Pemerintah Pusat untuk dapat mengembalikan jalan negara itu ke posisi dan kondisi awal, sehingga tampaknya butuh tekanan yang lebih bahkan sangat besar dari seluruh rakyat Kalsel.
Apakah rakyat Kalsel atau banua ini perlu turun berbondong-bondong meneriakkan; dalas hangit, haram manyarah, waja sampai ka puting seperti ketika Pasukan Banjar dan Dayak dipimpin Pangeran Antasari melawan Penjajah Belanda, sehingga Pemerintah Pusat jadi fokus pandangannya dan sadar kalau terdapat bagian dari Indonesia ada yang bernama Kalsel (?)
Pemerintah Pusat seolah lupa setelah mengeruk banyak SDA di Kalsel, malah justru lebih memperhatikan yang lain, misalkan akan membangun patung Sukarno di Bandung dengan biaya Rp 10 trilyunan, atau sibuk memperbagus Jakarta yang nota bene akan ditinggalkan sebagai ibukota negara.
Sepertinya masalah jalan di Km 171 Satui ini butuh political will yang serius dan fokus oleh seluruh pemangku kepentingan di Kalsel, bukan cuma memandang ini urusan Tanah Bumbu saja, tapi adalah urusan Kalsel secara kewilayahan; Banua, Tanah Banjar, yang mana seluruh tokoh di Kalsel harus turun bersamaan untuk menekan Pemerintah Pusat agar tak dianggap unfair bahkan zalim.
Ayo Kalsel bangkit, kobarkan semboyan Pangeran Antasari untuk melawan ketidakadilan yang menimpa Tanah Banjar ini. (isp™ - xxxi-viii-mmxxiii)