Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang dikeluarkan pada 1981 semasa Ketua MUI, Buya Hamka, yang juga ikut ditanda tangani Ketua Komisi Fatwa, KH Syukri Ghazali dan Sekretaris, H. Masudi, yakni tentang haram bagi umat Islam untuk mengikuti perayaan dan kegiatan Natal; menurut saya sudah benar.
Disitu tak ada disebut tentang mengucapkan Selamat Natal, yang bila pengucapan itu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, maka artinya selamat hari kelahiran, atau lebih beken adalah selamat Ultah.
Nah, itu akan menjadi berbeda artinya jika pengucapan secara lengkap; Selamat Natal Yesus, yang berarti sudah secara khusus.
Orang banyak tahu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada bulan Rabiul Awal pada tahun Hijriyah, tapi jarang terdengar ada yang mengucapkan Milad ya Rasulullah Muhammad. Padahal ini peringatan yang kurang lebih sama dengan Natal, cuma beda bahasa saja. Bisa saja saling pinjam bahasa; Natal Muhammad SAW, dan Maulid Yesus Kristus.
Disitu tak ada disebut tentang mengucapkan Selamat Natal, yang bila pengucapan itu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, maka artinya selamat hari kelahiran, atau lebih beken adalah selamat Ultah.
Nah, itu akan menjadi berbeda artinya jika pengucapan secara lengkap; Selamat Natal Yesus, yang berarti sudah secara khusus.
Orang banyak tahu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada bulan Rabiul Awal pada tahun Hijriyah, tapi jarang terdengar ada yang mengucapkan Milad ya Rasulullah Muhammad. Padahal ini peringatan yang kurang lebih sama dengan Natal, cuma beda bahasa saja. Bisa saja saling pinjam bahasa; Natal Muhammad SAW, dan Maulid Yesus Kristus.
Menurut saya apa yang difatwakan oleh MUI itu tak perlu jadi polemik berkepanjangan. MUI hanya sebagai pemberi peringatan, dimana di MUI itu tempat kumpulan para petinggi agama (Islam) yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai pemimpin umat.
“Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, maka kamu bertanggung jawab terhadap yang kamu pimpin.”
MUI tentu tidak mau begitu saja bertanggung jawab sebelum memberi peringatan.
Nah, yang namanya peringatan, tak selalu didengar dan ditaati oleh mereka yang diberi peringatan. Jangankan cuma peringatan MUI, jelas-jelas sangat banyak peringatan Tuhan melalui kitab suci, tetap saja masih banyak menulikan telinga dan tak mentaatinya.
Soal toleransi yang jadi dalih dan argumen tak perlu mentaati larangan mengucapkan Natal, silakan saja, hak masing-masing individu, dan masing-masing nanti bertanggung jawab atas keyakinannya kepada Tuhan.
Contoh toleransi beragama dalam Islam sudah dicontohkan oleh. Rasulullah SAW dengan mengacu kepada petunjuk Allah SWT dalam surah Al Kafirun.
Saling mengunjungi saat hari besar agama masing-masing cukuplah menjadikan bukti bagi kita bahwa toleransi itu tak mesti mengikuti perayaan dan ritual agama umat lain. Tanpa ucapan Natal pun jadi, cukup dengan ucapan, “selamat ya, semoga tetap dalam lindungan Tuhan.”