SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Judul Berita Yang Mengundang Teror - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Senin, 03 Maret 2014

Judul Berita Yang Mengundang Teror

Karena judul berita yang ditulis secara bombastis oleh koran tempat saya bekerja, saya mendapat teror dari narasumber.

Kisahnya saya melakukan liputan terhadap sidang Mantan Kepala Desa yang dituduh telah menjual sebidang tanah untuk lokasi pelabuhan khusus loading batubara kepada sebuah perusahaan.

Dalam tuduhan Jaksa, Mantan Kepala Desa itu telah menjual tanah namun surat-suratnya hanya berupa foto copy-an, tanpa disertai Surat Keterangan Kepemilikan Tanah yang asli dan sah.

Usai sidang saya pun melakukan wawancara terhadap beberapa pihak terkait termasuk Mantan Kepala Desa tersebut. Hasil semua wawancara itu saya buat berita untuk kemudian saya kirim ke redaksi. Namun berita yang saya kirim tersebut tidak saya beri judul, karena saya pikir biarlah redaksi saja yang memberi judul berita itu nantinya.

Beberapa hari kemudian terbitlah berita yang saya kirim itu. Judulnya cukup bombastis, “Jual Tanah Dapat Surat Foto Copy-an”.

Saya sih setuju-setuju saja dengan judul bikinan redaksi itu. Dan saya pun tak berpikir macam-macam terhadap judul tersebut.

Tapi apa lacur, gara-gara judul yang cukup bombastis itu, saya mendapat telpon dari Mantan Kepala Desa. Di percakapan telpon ia marah-marah, saya dituduh memojokkan dirinya. Bahkan saya diancam akan dikirimi preman. Meski saya sudah menjelaskan panjang lebar, tapi ia tetap ngotot, padahal isi berita sama sekali tak memojokkan dirinya. “Bapak sudah baca semua nggak isi beritanya ?” tanyaku. “Belum, saya cuma dikasih tahu judul beritanya oleh anak buah saya,” balas Mantan Kepala Desa yang dikenal cukup temperamen itu.

Mantan Kepala Desa itu menanyakan tempat tinggal saya. Tanpa bermaksud menghindar dari tanggung jawab profesi, saya memberikan alamat saya sedetil-detilnya. “Tunggu saja nanti saya akan kirim preman saya ke tempatmu,” ancamnya.

Meskipun saya sebenarnya gentar mendengar ancamannya, saya coba menguatkan mental agar saya tak dikira lemah. “Terserah bapak kalau mau kirim preman, kirim yang banyak sekalian, pak,” balasku di telpon.

Setelah membalas ancaman Sang Mantan Kepala Desa itu, saya jadi berpikir jangan-jangan ancaman itu bukan main-main. Terhadap adanya ancaman tersebut saya bertekad untuk tidak melapor ke pihak Kepolisian setempat, karena hubungan saya kurang harmonis terkait banyak pemberitaan yang telah saya buat terkait institusi berbaju coklat itu.

Saya pikir biarlah risiko ini saya sandang dan tanggung sendiri, saya hanya melapor ke redaksi dan Kepala Perwakilan koran saya saja. Ini saya lakukan bila terjadi apa-apa terhadap saya, maka pihak media dimana saya bekerja sudah mengetahuinya.

Saya memutuskan untuk tidak keluar rumah sehabis mendapat ancaman itu. Karena saya pikir bila para preman kiriman itu mendatangi saya, para tetangga saya paling tidak ada yang bereaksi. Sedangkan bila saya keluar rumah, kemungkinan saya diculik lebih kuat. Kalaupun saya keluar rumah, saya akan bersama rekan seprofesi lainnya.

Namun setelah beberapa lama saya tunggu-tunggu ancaman itu tak kunjung datang juga hingga saya ketemu langsung dengan mantan Kepala Desa tersebut. Ia mengungkapkan permintaan maafnya karena salah paham terhadap judul pemberitaan tersebut. Ia memintalain kali agar tak perlu membuat judul berita yang bisa membikin para pembaca salah paham dan salah tafsir.