Beberapa kali ini aku makan di rumah makan milik Fandi, tak pernah lagi kulihat Fitria, istri Fandi yang suka berpakaian seksi itu.
Ingin sekali sebetulnya aku menanyakan kemana istrinya, tapi kuurungkan, tak ingin dianggap ikut mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
Rupanya keingin tahuanku tentang kemana perginya Fitria, terjawab sendiri oleh Fandi, suaminya yang curhat kepadaku.
“Oh begitu ceritanya,” sahutku setelah Fandi bercerita panjang lebar mengenai kepergian istrinya.
“Dia kini ikut kerja dengan iparnya sebagai tenaga pembukuan di perusahaan penyedia bahan bangunan,” ungkap Fandi mengenai kebeeadaan istrinya kini.
Aku cuma menyimak cerita Fandi tentang istrinya itu.
“Aku tak habis pikir kenapa dia memilih bekerja digaji daripada mengurusi rumah makan ini,” cetus Fandi.
Rumah Makan milik Fandi yang ia kelola bersama Fitria istrinya, lumayan banyak pengunjungnya setiap hari. Itu karena letak rumah makan yang sangat strategis diantara beberapa kantor pemerintah yang memperkerjakan banyak pegawai.
Menurut Fandi usaha rumah makannya itu bisa meraup untung jutaan rupiah dalam sehari, terutama pada hari-hari kerja, karena sebagian besar para pegawai makan pagi dan siang di rumah makannya.
“Kemungkinan ada sesuatu hal yang tak ada hubungannya dengan usaha yang membuat istrimu pergi,” ujarku memancing reaksi Fandi.
Beberapa saat Fandi terdiam.
“Sebenarnya rumor ini cukup lama kudengar; mengenai ada seorang pegawai yang punya hubingan dengan Fitria,” ungkap Fandi pelan sambil tertunduk memegang kepalanya.
“Terus apa tindakanmu ?” tanyaku ingin tahu lebih jauh.
“Aku belum tahu yang mana pegawai dimaksud. Yang jelas lelaki itu pasti sering makan disini,” sahut Fandi.
Hampir 7 tahun Fandi berumah tangga dengan Fitria, namun mereka belum dikarunia anak. Kemungkinan hal ini menjadi salah satu penyebab kebosanan Fitria sehingga ia pergi meninggalkan Fandi, dan berhubungan dengan lelaki lain.
Pagi itu ketika aku melintas di depan rumah makan, Fandi memanggilku mampir. Padahal aku ada janji dengan seorang kepala dinas untuk konfirmasi sebuah proyek.
Tak apalah kupikir, masih ada waktu setengah jam, aku pun mampir.
“Aku sudah tahu siapa orangnya yang selama ini berhubungan dengan Fitria,” cetus Fandi.
“Wah hebat, sudah bisa tahu,” sahutku sambil senyum dan mengacung jempol.
“Ya, masih hebat aku daripada lelaki yang digilai Fitria itu, dia cuma seorang pegawai honorer yang bergaji ratusan ribu sebulan,” ujar Fandi sambil membusungkan dadanya puas.
“Semoga saja Fitria cepat sadar dan berubah pikiran,” kataku prihatin.
Keluar dari rumah makan itu kupikir dalam segi pendapatan dan materi Fandi lebih hebat daripada lelaki selingkuhan istrinya itu, tapi ada sesuatu yang tak dimiliki Fandi.