SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Bukan Duitmu, atapi Wibawaku - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Senin, 24 Maret 2014

Bukan Duitmu, atapi Wibawaku

Beberapa hari ini topik pembicaraan warga hanya seputar akan datangnya beberapa artis penyanyi dangdut dari ibukota, yang akan mengisi panggung hiburan gratis.

“Siapa sih yang akan menggelar panggung hiburan gratis itu,” tanya Jumberi yang rupanya belum tahu.
“Dasar kamu ketinggalan berita, siapa lagi kalau bukan H. Madin si pengusaha tambang batubara itu, memangnya selama ini ada yang lain,” sahut Dahlan dengan pandangan mengejek.
“Oh dia lagi rupanya,” singkat Jumberi kagum.
“Entah berapa ratus juta uang yang akan dikeluarkan oleh H. Madin itu, terbuang percuma oleh hanya kesenangan telinga dan mata saja. Dan sudah berapa milyar jika dihitung selama ini,” ujar Dirham sambil memijit jari-jarinya seolah sedang berhitung.
“Yah, namanya juga orang kaya, duitnya sudah tidak pakai nomor seri, orang seperti dia itu duit datang sendiri,” Sadeli menimpali.

Sementara itu di kediaman H. Madin, beberapa anggota Polres sedang bertamu.
“Kapan acara panggung hiburan itu dilaksanakan, Bos ?” Maryoto, Kasat Intel membuka percakapan.
“Kita rencananya 3 malam; Jumat malam, Sabtu malam, dan Minggu malam,” jawab H. Madin sambil menyulut rokok, duduk dengan menyilangkan kaki.
“Kalau begitu biar nanti Bripka Abdullah yang mengurus perijinannya ke Polsek, tak perlu Bos yang urus sendiri,” kata Maryoto yang berpangkat AKP itu sambil menunjuk ke salah satu anak buahnya.
“Siap Ndan, saya yang urus,” sahut Abdullah seraya mengangkat tangan kanannya tanda hormat.
“Terima kasih semuanya sudah bersedia membantu,” ujar H. Madin yang kemudian bangkit berdiri menuju ke arah kamarnya.

Beberapa saat kemudian H. Madin keluar kamarnya sambil membawa map berwarna biru muda. Rupanya didalam map itu sudah dipersiapkan beberapa amplop, yang kemudian ia bagikan kepada para anggota dari Polres itu.
“Sekali lagi terima kasih atas kesediannya membantu, maaf, saya mau istirahat dulu, kalau ada sesuatu telpon aja,” ujar H. Madin seraya mendekatkan jari telunjuk dan kelingking ke kupingnya.
“Terima kasih, Bos. Kami juga mohon pamit, masih ada giat di lapangan,” kata Maryoto menyalami H. Madin diikuti oleh 3 anak buahnya.

“Dengar-dengar artis yang akan manggung itu si Juleha Pereks yang seksi abis itu,” ujar Kusni yang sedang nongkrong di warung sekitar lokasi panggung.
“Oh itu penyanyi yang tenar lewat lagu pecah-pecah telor, yang buah dadanya super besar itu,” sambut Murdi seraya cengengesan.
“Dasar otak mesum kamu itu, pikiran kotor,” senggol Rudi yang duduk di sebelahnya.
“Alah….sok alim kamu, bilang aja kamu juga suka lihat yang begituan, kalau nggak suka paling kamu lagi cacingan,” balas Murdi sambil ngakak.

Tak jauh dari warung tempat Kusni dan kawan-kawannya nongkrong, belasan kru pertunjukan sedang mendirikan panggung dan mengetes peralatan sound system.
Beberapa saat kemudian sebuah mobil Toyota Fortuner warna hitam memasuki lokasi dimana panggung sedang didirikan. Sudah bisa ditebak yang datang adalah orang yang punya hajat, karena di kaca depan mobil ada tulisan ‘Madin Grup’.

Seorang pria setengah baya bertinggi dan berperawakan sedang, turun dari mobil diikuti oleh 2 wanita muda dan cantik dengan pakaian cukup seksi.
H. Madin berjalan ke arah panggung sambil menggandeng kedua wanita itu. Beberapa warga pun ramai mengerumuni H. Madin, ingin bersalaman dan lebih dekat dengan kedua wanita cantik bersama H. Madin itu.

“Minta foto bersama dong, mbak Juleha, juga Dewi Pernik” pinta seorang ibu yang membawa serta anaknya merangsek maju menyisihkan orang yang berkerumun.
Dasar nasib si ibu sedang bagus, H. Madin bersedia foto besama si ibu dan kedua artis wanita yang dibawanya.
Diantara kerumunan 2 orang pria yang berpakaian ala anak punk dengan rambut berwarna pirang ikut merangsek maju ke arah H. Madin.
“Hebat bos kita ini, nggak ada lawannya kalau soal undang artis,” ujar seorang diantara keduanya yang beranting-anting di kedua kupingnya.
“Iya bos, apalagi yang dibawa artis-artis terkenal,” timpal temannya pula.
Mendengar kata bernada pujian itu, hidung H. Madin pun kembang kempis, wajahnya sumringah, lalu merogoh dompetnya, dan memberikan lembar seratus ribuan masing-masing ke pria ala anak punk itu.
“Ikutan bantu-bantu nanti pengamanan kalau lagi show,” ujar H. Madin.
“Iya bos, pasti kita ikut bantu,” serentak jawab keduanya kemudian meninggalkan kerumunan dengan riang karena sudah dapat saweran.

“Nah kan, kubilang juga apa. Kalau lagi dengan perempuan H. Madin pasti enteng mengeluarkan duit,” kata Deny yang kedua kupingnya pakai anting-anting.
“Iya juga sih. Berarti H. Madin itu matinya di hadapan cewek,” sahut Yanto, keduanya adalah preman di Pasar Induk yang dijadikan lokasi pertunjukan oleh H. Madin.
“Tapi coba aja kalau pas lagi nggak sama cewek, nggak harapan dia mau keluar duit buat kita,” ujar Deny pula.
Yanto cuma termangu mendengar ucapan Deny, dalam hatinya H. Madin itu tergolong orang yang senang dipuji di depan orang, apalagi di depan cewek.

Sudah sejak menjelang sore grup musik dangdut pimpinan H. Madin melakukan tes alat dan sound system sekalian gladi bersih. Meski di mesjid terdekat terdengar suara azan, kru musik tak juga perduli, mereka tetap terus memainkan alat musik. Suara azan nyaris hilang tertelan bunyi musik itu.
“Dasar tak tahu adab para pemain musik itu,” gerutu seorang pria tua yang sedang melangkah menuju sebuah surau yang berjarak beberapa puluh meter dari panggung musik.
“Sudah tidak shalat mestinya berhenti sebentar nunggu waktu azan usai,” timpal seorang ibu setengah baya yang tampaknya akan ke surau pula.
“Padahal pimpinan grup. Musik itu kan sudah bergelar haji, mestinya bisa menegur anak buahnya,” masih gerutuan pria tua itu.

Menjelang magrib itu sudah banyak berdatangan warga untuk menonton kedua artis penyanyi dangdut yang namanya sedang naik daun itu. Tak ketinggalan berbagai penjual makanan, minuman, serta mainan anak-anak ikut berdatangan mengambil tempat yang strategis untuk berjualan.
Tak berapa lama lokasi berupa lapangan dimana panggung itu berdiri, penuh sesak jadi lautan manusia. Berbagai bentuk dan bau pun campur baur disana.

Usai waktu shalat isya, terdengar raungan sirine mobil foreder mengawal para artis menuju lokasi. Warga penonton pun jadi ikut sibuk ingin menyaksikan artis idola itu sambil mempersiapkan kamera ponsel masing-masing, mengabadikan artis dari dekat. Petugas pengawalan jadi sibuk melindungi kedua artis utama itu, menghalau para penonton yang nekat merangsek agar bisa lebih dekat dengan si artis.

“Para penonton sekalian, selamat malam, berjumpa lagi dengan musik dangdut Madin Grup. Kali ini kita tampilkan 2 penyanyi tenar dan seksi, siapa lagi kalau bukan………Juleha Pereks, dan…….Dewi Pernik dengan goyang kurcacinya………,” suara H. Madin membuka pagelaran musik malam itu.
Penonton pun merangsek semakin mendekati depan panggung sambil mengelu-elukan kedua artis itu.
“Sebagai lagu pembuka malam ini, kita panggil……Juleha Pereks yang akan melantunkan tembang andalannya…….pecah-pecah telor…….,” kembali suara H. Madin yang juga ikut memegang alat musik gitar.
“Dasar gaya tuh H. Madin pakai ikut pegang gitar juga, padahal sama sekali dia tak bisa memainkannya, action doang,” ujar seorang penonton pria.
“Masa sih dia tak bisa main gitar ?” tanya teman di sebelahnya.
“Ya iyalah, orang aku tahu persis, aku ini tetangga dekat rumahnya,” sahut pria itu.
“O………begitu…….,” balas temannya setengah melongo bak sapi ompong.
“Loe mestinya bilang wow, gitu,” canda pria itu sambil terkekeh.
Beberapa lagu sudah dilantunkan oleh kedua penyanyi top dan seksi itu diselingi beberapa penyanyi lokal, tak terasa menjelang tengah malam.
Waktu lewat sedikit dari pukul 00.00, seorang berseragam lengkap polisi diikuti seorang lainnya yang tampaknya anak buahnya, menaiki panggung musik menemui H. Madin.
Tampak dari jauh di belakang panggung, kedua anggota polisi itu berbincang dengan H. Madin.
“Saya perintahkan pertunjukan ini berhenti, karena sesuai perijinan yang kami berikan batas waktunya cuma sampai pukul 00.00,” ujar Iptu Benny yang ternyata Kapolsek setempat.
“Saya minta waktu satu jam lagi, pak,” mohon H. Madin.
“Tak ada waktu tambahan apapun,” tegas Kapolsek yang masih muda itu yang kemudian berlalu.

Dengan langkah gontai akhirnya H. Madin terpaksa menuruti perintah Kapolsek untuk berhenti. Ia menuju ke depan mikrofon, “para penonton semua, hiburan malam ini kita cukupkan sampai disini, sampai ketemu di lain waktu.”
Setelah itu para pemain musik melantunkan instrumentalia lagu gelang sepatu gelang tanda usai dan mengajak para penonton bubar.

“Sangat mengecewakan malam ini. Biasanya Kapolsek yang terdahulu mengijinkan kita manggung hingga pukul 02.00 dini hari,” geram H. Madin sambil membanting topi yang dipakainya diatas meja.


“Apa sih maunya tuh Kapolsek juga, kasih ijin pertunjukan cuma satu malam, padahal kita minta 3 malam,” cetus H. Madin masih geram.
Beberapa anak buahnya, kru orkes hanya bisa diam saling berpandangan melihat kegeraman hati Bosnya.
“Orang-orang Polres itu juga tidak becus mengurus ijin, tahunya duit aja, masa bisa kalah sama Kapolsek,” sungut H. Madin.

Pagi Sabtu itu H. Madin menelpon AKP Maryoto, Kasat Intel Polres. Ia minta agar perwira polisi itu kembali memintakan ijin untuk manggung malam nanti.
“Siap Bos, saya segera menemui Kapolsek,” sahut Maryoto di telpon.

Maryoto mendatangi Kapolsek di rumah dinasnya, karena Sabtu kantor libur, hanya petugas jaga saja yang berada di kantor.
“Aku minta bantuanmu agar bisa memberikan ijin manggung lagi untuk malam nanti ke H. Madin,” ujar Maryoto.
“Maaf mas, aku tak bisa membantu untuk kali ini. Kita mesti tunjukkan wibawa kita agar tak selalu tunduk pada kemauan orang-orang seperti H. Madin itu,” sahut Kapolsek.
“Untuk malam ini saja, nanti aku aturkan dananya untuk itu,” bujuk Maryoto.
“Bukan soal dananya, mas. Ini masalah wibawa,” ujar Kapolsek datar.

Maryoto akhirnya tak mampu membujuk Kapolsek agar memberi ijin manggung. Dengan langkah gontai ia turun dari mobilnya memasuki kediaman H. Madin.
“Kapolsek tetap bersikeras tak mau kasih ijin, Bos. Maaf, saya sudah berusaha maksimal membujuknya,” ungkap Maryoto lesu.
“Sudahlah, cari jalan bagaimana agar bisa dapat ijin lain kali untuk bisa manggung beberapa malam, saya jadi tak enak dengan kondisi yang tak seperti biasanya ini,” ujar H. Madin berusaha tenang.

Karena tak memperoleh ijin manggung, H. Madin terpaksa memulangkan kedua artis ibukota yang sedang tenar itu. H. Madin mesti membayar honor manggung sebanyak 3 kali sesuai kontrak, meski kedua artis hanya manggung 1 kali saja.
“Rugi aku kali ini, memberi uang ratusan juta rupiah cuma-cuma kepada Juleha Pereks dan Dewi Pernik,” ujar H. Madin sambil memegang pelipisnya.

Sejak itu grup musik pimpinan H. Madin tak lagi memperoleh ijin manggung dari Kapolsek setempat. Beberapa kali pengajuan ijin H. Madin ditolak dengan anjuran minta ijin dan manggung di wilayah Polsek tetangga.
“Selama aku menjabat Kapolsek disini, tak akan pernah kuberikan ijin untuk H. Madin manggung. Aku tak pernah suka dengan tipe orang yang mengukur segala sesuatu dengan uang,” ungkap Kapolsek Iptu Benny di hadapan seluruh anggotanya.
“Ada juga rupanya komandan yang tak doyan duit,” bisik Bripda Ali ke Bripda Jonder Aritonang.
“Bah diam kau ! Nanti kedengaran komandan biza-biza kita dizuruh skotzam,” sergah Jonder dengan aksen khasnya.