Rakyat miskin di negeri ini tak butuh Premium dan Solar bersubsidi.
Itu premis saya terkait adanya beberapa jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sejak dulu disubsidi oleh Pemerintah. Tahun 2013 ini saja subsidi untuk BBM mencapai lebih dari Rp 193 trilyun. Luar biasa banyaknya, hanya untuk dibakar dan mengeluarkan asap; sesuai namanya Bahan Bakar.
Jenis BBM yang dibutuhkan rakyat miskin agar disubsidi secara fakta adalah minyak tanah. Jenis BBM ini diperlukan untuk kompor memasak dan penerangan lampu (petromaks, teplok, ublek) di malam hari. Rakyat miskin tak memerlukan premium (bensin) dan solar bersubsidi. Kedua jenis BBM tersebut yang membutuhkan adalah rakyat kelas ekonomi menengah dan atas yang dalam tanda kutip; rakyat yang tergolong mampu.
Rakyat miskin dipastikan tak akan mampu membeli sepeda motor, meski dengan cara mencicil (kredit) pun. Mungkin mereka mampu dengan dengan bersusah payah mengumpulkan “uang muka” untuk kredit sepeda motor, tapi “uang belakang” yang menanti tiap bulan jauh lebih besar akumulasinya hingga sepeda motor lunas. Rakyat yang mampu memiliki sepeda motor yang berbahan bakar bensin (karena tak ada yang berbahan bakar solar), bukan lagi tergolong miskin. Mereka ini sudah dikategorikan rakyat golongan ekonomi menengah. Nyatanya mereka mampu membeli sepeda motor, tentu lebih mampu lagi untuk membeli bensin bersubsidi.
Tapi bensin bersubsidi bukan saja untuk sepeda motor, juga untuk mobil. Benar. Apalagi mobil, milik pribadi, pasti milik rakyat golongan mampu jika tak mau disebut kaya. Rakyat yang mampu memiliki mobil sungguh sangat tak pantas menikmati bensin bersubsidi. Itu namanya merampas hak rakyat miskin yang tak memiliki sepeda motor apalagi mobil.
Bagaimana dengan mobil angkutan umum yang melayani rakyat ? Mobil angkutan umum itu kalau tidak milik perorangan pasti milik badan usaha. Mereka ini bertujuan meraih keuntungan dengan penyediaan jasa angkutan. Juga sungguh tak pantas menggunakan bensin bersubsidi. Penumpang yang naik mobil angkutan toh membayar bukan gratis. Terkecuali pemerintah mengadakan jasa angkutan yang menggunakan BBM bersubsidi dan tarifnya jauh dibawah tarif angkutan milik swasta.
Solar bersubsidi bukan untuk rakyat miskin.
Rakyat miskin pasti tak butuh solar bersubsidi. Untuk apa dan siapa solar bersubsidi ? Pemilik truk angkutan pasti bukan orang miskin. Pemiliknya pasti tergolong mampu dan kaya. Jadi harus membeli solar industri untuk operasional truknya.
Solar bersubsidi untuk menghidupkan mesin genset ? Hanya mereka yang tergolong mampu yang bisa membeli mesin genset untuk antisipasi listrik padam. Mana ada rakyat miskin bisa beli mesin genset.
Solar untuk para nelayan melaut. Ini juga tidak tepat. Nelayan miskin pasti tak mungkin bisa memiliki perahu yang digerakkan dengan mesin bertenaga diesel berbahan bakar solar. Yang bisa dan mampu membeli perahu motor hanyalah nelayan golongan ekonomi menengah. Berarti bukan lagi tergolong rakyat miskin. Mereka ini harus membeli solar industri untuk operasional perahu motornya. Para nelayan miskin pergi melaut dengan menggunakan perahu tenaga layar.
Jadi, baik bensin maupun solar “wajib” dicabut subsidinya; menghamburkan uang negara. Jika Pemerintah ingin membantu rakyatnya yang masih miskin, tidak dengan cara memberi Balsem (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat), tapi bisa dalam bentuk lain; kesehatan dan pendidikan gratis, atau bantuan permodalan bagi rakyat miskin untuk dapat berusaha meningkatkan ekonominya. Tak ada alasan yang tepat untuk terus mempertahankan subsidi kedua jenis BBM tersebut. Logikanya jika seseorang mampu memiliki sepeda motor, mesin, genset, apalagi mobil, pasti ia pun membeli BBM yang harganya jauh lebih murah daripada benda yang memerlukan BBM.
Uang sebesar lebih dari Rp 193 trilyun itu luar biasa banyak. Bila terdiri dari lembaran seratus ribuan; disambung-sambung, bayangkan berapa ribu kilometer panjangnya.