Selepas keluar dari kawasan perkebunan kelapa sawit milik PT. Surya Kencana Inti Perkasa (SKIP) yang termasuk wilayah Desa Sangsang Kecamatan Kelumpang Tengah Kabupaten Kotabaru Kalsel, suasana pertambangan sudah mulai terasa. Badan jalan yang cukup lebar dengan pengerasan batu basecourse padat, tampak beberapa truk angkutan batubara melintas kosong.
Kami memasuki wilayah Desa Geronggang masih termasuk Kecamatan Kelumpang Tengah. Desa paling ramai dan banyak penduduknya ini merupakan tempat konsentrasi berbagai kegiatan; usaha masyarakat, perdagangan, dan pertambangan. Para pebisnis maupun pelaku pertambangan batubara banyak yang memilih ber-home base di Geronggang.
Beberapa bulan terakhir, Desa Geronggang tampak agak sepi daripada beberapa tahun sebelumnya. Para pekerja dan karyawan yang berkerja di berbagai perusahaan tambang; banyak yang meninggalkan Desa Geronggang. Penyebab dari ditinggalkannya desa tersebut, sebuah perusahaan yang menjadi kontraktor dari PT. Arutmin Indonesia Tambang Senakin, yakni PT. Thiess; merumahkan ribuan karyawannya.
PT. Arutmin Indonesia Tambang Senakin merupakan perusahaan yang memperoleh kontrak dari PT. Bukit Asam (BUMN) sebagai pelaksana pertambangan batubara di wilayah Kabupaten Kotabaru Kalsel sejak era awal tahun 1980-an.
Menurut beberapa informasi baik dari para pekerja maupun pihak media, PT. Arutmin Indonesia Tambang Senakin menghentikan kegiatan pertambangan dikarenakan belum bisa membayar upah kerja kepada PT. Thiess.
Ambil kesempatan dalam kesempitan.
Aktivitas pertambangan secara ilegal di wilayah Kalimantan Selatan selama ini sudah bukan rahasia lagi. Wilayah yang banyak menjadi sasaran aktivitas pertambangan batubara secara ilegal antara lain; Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, dak terkecuali wilayah Kotabaru yang berada di daratan pulau Kalimantan.
Aktivitas penambangan secara ilegal keberadaannya seiring dengan keberadaan PT. Arutmin Indonesia di ketiga wilayah kabupaten di Kalimantan Selatan itu.
Dengan berhentinya kegiatan PT. Arutmin Indonesia Tambang Senakin, sejumlah orang mengambil kesempatan untuk memasuki wilayah PKP2B (Perjanjian Kontrak Pertambangan Batubara) milik PT. Arutmin Indonesia, meski sebelumnya mereka memang sudah melakukannya.
Menurut keterangan warga setempat yang kami temui di Desa Geronggang; terdapat puluhan bahkan diperkirakan bisa mencapai ratusan yang memasuki dan merambah wilayah beberapa desa di Kecamatan Kelumpang Tengah.
Hal itu juga diakui oleh beberapa pekerja tambang yang berhasil kami temui langsung di lokasi.
Aktivitas penambangan ilegal di depan mata.
Siang itu atas informasi dari beberapa warga yang kami temukan sedang melintasi jalan angkutan (hauling) PT. Arutmin Indonesia; kami menuju kawasan bernama Tanah Rata. Menurut warga, Tanah Rata dulunya merupakan sebuah pemukiman penduduk dengan nama Desa Tanah Rata. Kini di lokasi itu tak ada satu pun lagi tampak perumahan penduduk; rata menjadi lokasi tambang batubara, sesuai namanya menjadi tanah yang diratakan untuk tambang. “Semua penduduk Tanah Rata sudah berpindah ke lokasi diluar areal pertambangan, rumah-rumah warga sudah diganti rugi oleh perusahaan,” ungkap beberapa warga.
Dengan menggunakan mobil, kami pun memasuki kawasan Tanah Rata yang sejauh mata memandang yang tampak adalah gundukan tanah, lobang-lobang luas dan dalam, serta tumpukan batubara disana sini yang belum terangkut.
Di kejauhan tampak sebuah tenda seperti kemah. Kami bergegas menuju ke arah itu. Kami dapati semacam pondok terbuat dari potongan kayu-kayu perdu dengan atap dari terpal. Tak ada orang di pondok ini, namun terdapat peralatan dapur berikut beberapa bungkus mie instant. Tampaknya pondok itu masih akan dipergunakan oleh pemiliknya.
Muncul pertanyaan diantara kami untuk apa pondok itu dibangun di lokasi pertambangan tersebut. “Ini pasti pondok yang dibangun oleh pelaku pertambangan ilegal,” ujar seorang rekan diantara kami berlima.
Kami mengarahkan pandangan ke berbagai arah, dari kejauhan tampak sebuah peralatan berat jenis excavator. Kembali kami bergegas memacu mobil ke arah peralatan berat tersebut.
Kami membuntuti jalan excavator di belakang sebuah mobil jenis double cabin yang juga mengiringi alat berat tersebut. Di depan excavator tampak pula sebuah mobil jenis double cabin yang menjadi penunjuk jalan.
Tampaknya orang yang kami buntuti mengetahui kehadiran kami diantara mereka. Mobil double cabin di depan berikut excavator berhenti, mobil di depan kami pun menepi dan berhenti.
Mobil kami mendekati mobil double cabin yang berada di depan. Seorang pria berperawakan sedang agak gemuk berpotongan rambut cepak turun dari mobil double cabin. Ia menanyai kami apakah kami juga sedang mencari lahan untuk melakukan penambangan. Kami berlima terus terang menyatakan diri kami adalah jurnalis. Ia tampak kaget sebentar, namun cepat menguasai diri.
“Kami memiliki surat perintah untuk berkerja,” ujar pria yang mengaku sebagai anggota TNI AD berpangkat Praka. Ia lalu mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas kecilnya.
Salah seorang dari kami menerima amplop surat yang disodorkan oleh pria tersebut. Membaca isi surat hingga selesai, lalu memoto isi surat untuk sebagai dokumentasi.
“Kami berkerja untuk kepentingan orang banyak sambil membantu masyarakat,” ujarnya berkilah.
Kami cuma manggut-manggut mendengar penjelasan dan berbagai alasan sehingga mereka melakukan kegiatan pertambangan yang sama sekali tak disertai dengan perijinan dari pihak Dinas Pertambangan setempat apalagi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Kami melanjukan pencarian terhadap para pelaku penambangan liar lainnya di lokasi seluas ribuan hektar dimana pemandangan alamnya sudah acak-acakan dengan berbagai bekas galian yang cukup luas dan dalam.
Pencarian kami lakukan hingga menjelang sore sebelum memutuskan untuk kembali melanjutkan pencarian keesokan harinya.
Lumayan hasil pencarian kami terhadap para pelaku penambangan liar hari itu; kami berhasil mendapatkan berbagai data, sejumlah nama pelaku, serta dokumentasi foto kegiatan perlatan berat yang sedang mengeruk batubara maupun yang sedang bersiap untuk bergerak. Puluhan peralatan berat berhasil kami temukan di lokasi, di wilayah Kecamatan Kelumpang Tengah Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan.
Dalam perjalanan kembali ke Desa Geronggang, kami berpapasan dengan beberapa karyawan PT. Arutmin Indonesia. Meski mereka melihat langsung kegiatan penambangan liar di areal PKP2B perusahaan, mereka sama sekali tak berusaha mencegahnya.
Salah seorang dari mereka yang mengaku berkerja di bagian engineering, berucap dengan nada melarang kami memasuki area tersebut setelah kami memperkenalkan diri sebagai jurnalis.
“Kalian tidak boleh memasuki wilayah ini untuk keperluan mencari dan memgambil dokumentasi,” ujarnya.
Kami membantah ucapan tersebut dengan mengatakan para penambang ilegal dengan bebasnya bisa masuk dan menjarah batubara di area tersebut, sementara kami dilarang; adalah alasan yang sama sekali tidak logis.
Akhirnya oknum karyawan PT. AI yang mengaku bernama Yogi itu mengatakan, jika kami ingin memasuki area tersebut untuk keperluan mencari data dan mengambil dokumentasi, agar minta dampingi pihak Bagian Community PT. AI. Ia meminta nomor kontak ponsel dari salah seorang diantara kami untuk diserahkan ke pihak Bagian Community, agar bisa dihubungi. Namun hingga investigasi kami usai, tak ada dari pihak PT. AI yang menghubungi kami.
Oknum Kepolisian berada dibalik Kegiatan Penambangan Liar.
Kehadiran kami dalam melakukan investigasi terhadap kegiatan penambangan liar, tampaknya luput dari perhatian para pelaku penambang liar yang jumlahnya puluhan. Itu bisa diketahui dari perbincangan kami dengan beberapa diantara para pekerja yang dengan terus terang mengakui bahwa peralatan berat yang sedang dipergunakan untuk melakukan kegiatan penambangan liar di 2 kecamatan di wilayah Kabupaten Kotabaru; Kecamatan Kelumpang Tengah dan Kecamatan Sampanahan, jumlahnya mencapai ratusan.
Kemudian dari keterangan beberapa warga yang ikut terlibat dalam usaha kegiatan penambangan liar menyebut, kegiatan tersebut diketahui oleh pihak kepolisian setempat; baik pihak Polsek maupun Polres.
Bahkan mereka menambahkan, untuk bisa mengirim batubara hasil dari kegiatan penambangan ilegal tersebut, para pelaku menggunakan surat kirim atas nama PT. Inti Tambang Sejahtera (ITS) dengan biaya sebesar Rp 75 ribu per Metrik Ton (MT). Adapun PT. ITS menurut sumber kami, merupakan perusahaan pemegang perijinan pertambangan milik seorang pengusaha berinisial H. MP yang dibekingi oleh seorang oknum Polres Kotabaru berinisial RYH.
Masih menurut sumber kami, meski terdapat sebuah perusahaan yang bersedia memberi surat kirim dengan biaya lebih murah, yakni PT. Eka Buana, sebesar Rp 60 ribu per MT, namun mereka tak berani. “Kalau tak menggunakan surat kirim dari PT. ITS, kita akan mengalami kesulitan, tahu sendiri karena pemiliknya adalah seorang pengusaha yang dibekingi oknum polisi,” ungkap sumber itu.
Ditambahkannya, diduga oknum Polres itu memiliki semacam saham di PT. ITS.