Sore itu aku bersama seorang teman sedang duduk-duduk di sebuah lokasi tanah lapang. Di lokasi tersebut tampaknya akan dibangun perumahan, karena sudah terlihat beberapa bangunan serta taman yang sedang dikerjakan.
Karena tanahnya rata dan keras, beberapa bapak-bapak tampak hilir mudik mengendarai sepeda motor. Mereka yang bersepeda motor ria itu tak sendiri-sendiri, tapi disertai oleh remaja tanggung yang duduk di depan.
Ternyata bapak-bapak itu sedang mengajari putra putri mereka mengedarai sepeda motor.
Remaja tanggung yang diajari tersebut aku taksir umur mereka antara 10 hingga 15 tahun. Karena begitu duduk di sadel sepeda motor, kedua kaki mereka nyaris tak sampai menginjak tanah, untunglah sepeda motor yang mereka gunakan jenis bebek.
Melihat pemandangan seperti itu aku jadi teringat peristiwa yang menimpa putri seorang temanku. Sekitar 4 tahun lalu, putri temanku itu, masih duduk di bangku kelas 2 SMP, menemui ajalnya dengan beberapa potongan tubuhnya terpisah setelah sepeda motor yang dikendarainya bersama teman sebayanya bertabrakan dengan dumptruk tronton bermuatan batubara.
Karena sayang terhadap putrinya, temanku itu membelikan putrinya sepeda motor agar lebih mudah pergi ke sekolah dan untuk keperluan lainnya. Temanku itu tak menyadari justru rasa sayangnya itulah awal penyebab putrinya terbunuh. Anak yang masih duduk di bangku SMP sudah diberikan fasilitas yang dapat membunuhnya. Sebenarnya anak yang sudah duduk di bangku SMA saja belum patut untuk dibelikan sepeda motor maupun kendaraan jenis lainnya sebelum memenuhi syarat yang ditetapkan oleh UU Lalulintas.
Aku membayangkan berapa banyak lagi anak-anak atau remaja tanggung yang akan bernasib sama seperti putri temanku itu.