Marah kepada para wartawan.
Itulah yang selalu dilakukan oleh para penggiat ataupun pengusaha tambang batubara ilegal setiap kali pihak kepolisian melakukan operasi (razia) terhadap kegiatan tambang yang diduga tak memiliki perijinan.
Para penggiat maupun pengusaha tambang ilegal selalu menuding pihak media terutama wartawan telah memberitakan terkait kegiatan mereka, sehingga pihak kepolisian memperoleh informasi untuk melakukan operasi penertiban (Opstib).
Mereka yang kaya, wartawan dicela.
Adanya kegiatan pertambangan ilegal atau Pertambangan Tanpa Ijin (PETI) di beberapa wilayah kabupaten di Propinsi Kalimantan Selatan, sudah belasan tahun lalu. Pihak penegak hukum dari tingkat desa hingga pusat, sudah mengetahuinya. Jadi bukan lagi rahasia.
Kalaupun ada media yang memberitakannya, biasanya juga tak banyak dampaknya bagi kegiatan pertambangan batubara tanpa ijin tersebut.
Mereka yang berusaha di bidang pertambangan secara ilegal, sudah banyak yang menjadi kaya raya. Mereka bisa membangun rumah besar dan mewah, membeli bahkan gonta ganti mobil mahal, serta membeli berbagai kebutuhan hidup yang serba mahal. Namun kehidupan para wartawan tetap saja tak berubah dari tahun ke tahun.
Kalaupun para wartawan yang kehidupannya nyaris pas-pasan itu memberitakan terkait adanya kegiatan pertambangan ilegal, bukan karena iri terhadap keberuntungan secara ekonomi dan kehidupan para penambang ilegal tersebut, tapi memang tuntutan untuk memenuhi keingin tahuan publik.
Dari pemberitaan terkait kegiatan pertambangan ilegal, tak jarang wartawan mendapat ancaman dari pihak-pihak terkait yang merasa usahanya terusik. Wartawan dikatakan dan dituding tak ingin bersahabat dan berkerja sama dengan mereka.
Kontribusi oleh penambang ilegal.
Kontribusi apa yang diperoleh wartawan dari kegiatan pertambangan ilegal ?
Kalaupun ada oknum wartawan yang melakukan pertemanan dengan para penambang liar, diibaratkan paling-paling cuma mendapat debunya; duit rokok, duit bensin, duit transport yang nilainya tak seberapa. Ini tentu sangat berbeda dari apa yang diperoleh oknum penegak hukum.
Faktanya kebanyakan wartawan hanya mengendarai sepeda motor, kreditan pula. Berbeda dengan oknum di kepolisian yang memegang jabatan di Polsek dan Polres. Dalam beberapa bulan menduduki jabatan sebagai Kapolsek, Kasat, Kabag, maupun Kapolres; sudah tampak bermobil mahal.
Kepolisian yang melakukan Opstib terhadap kegiatan pertambangan ilegal tapi wartawan yang disalahkan, sungguh lucu.
Mestinya para penambang ilegal itu marah terhadap pihak kepolisian, kepada para oknum yang selama ini mereka jejali duit koceknya.
Wartawan tahu dan bisanya cuma memberitakan, sedangkan kepolisian punya wewenang untuk melakukan penangkapan, penahanan dan penyitaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan ilegal itu. Dan tak menutup kemungkinan pihak kepolisian dapat bermain; istilahnya 86, alias berdamai tanpa perkaranya harus muncul.