Sudah lama keinginan Rusmini untuk pergi umrah dengan suami, Suripto, ia pendam bertahun-tahun. Akhirnya hari ini sudah membayang di pelupuk matanya akan memandang ka’bah.
Sejak tadi malam mata Rusmini sulit terpejam. Hingga menjelang siang tetap juga matanya tak mau terpejam. Rusmini sudah membayangkan perjalanannya yang cukup jauh dari kota kecil dimana ia tinggal menuju bandara yang berjarak hampir 300 kilometer.
Meski Rusmini mencoba khusuk menjalankan shalat subuh, tak urung pikirannya kerap membayangkan perjalanannya melaksanakan umrah. Dalam doanya usai shalat subuh, Rusmini memohon kepada Tuhan agar segala beban hidup yang selama ini dialaminya segera menemukan jalan keluarnya.
Selama sekitar 6 tahun ini Rusmini hidup bersama Suripto, suami ketiganya yang tak memiliki pekerjaan selain membantunya membuka usaha rumah makan. Suami pertama Rusmini dulu adalah seorang pelaut yang jarang pulang dan berkumpul dengannya. Dari Heru, suami pertamanya, Rusmini memperoleh seorang putri yang sudah memberinya seorang cucu.
Heru yang jarang pulang, ternyata memiliki istri lagi di kota lain, dan tak lagi menghiraukan Rusmini beserta putrinya. Tanpa proses apapun, mereka berpisah.
Sedangkan suami kedua Rusmini, adalah Mansyah, yang menjadi seorang supir bis antar kota. Nasib Mansyah begitu tragis, ia tewas dalam sebuah kecelakaan berikut belasan penumpang ketika bis yang dibawanya bertabrakan dengan sebuah truk gandeng. Dari Mansyah, Rusmini tak sempat mendapatkan seorang anak pun.
Suripto bukannya tak pernah berusaha mencari pekerjaan. Ia pernah mencoba peruntungan berdagang kecil-kecil berjualan ikan, namun mengalami kebangkrutan. Suripto pun pernah ikut seorang temannya menjadi makelar hasil tambang, tapi tampaknya pekerjaan tersebut tidak cocok dengan sifatnya yang temperamen.
Akibat dari kegagalannya dalam berusaha, Suripto larut dalam minuman keras.
Melihat kondisi suaminya yang sering mabuk itu, Rusmini pun menjadi maklum dan tak lagi menuntut suaminya untuk berusaha layaknya seorang suami. Urusan mencari nafkah pun diambil alih oleh Rusmini.
Rusmini yang sudah terbiasa berusaha sejak masih remaja, selalu punya jalan untuk terus membuka usaha. Apalagi Rusmini yang supel dalam bergaul dengan gaya bicara yang lemah lembut, membuat banyak orang yang akhirnya menjadi kenalannya bersedia membantunya meminjamkan modal.
Adapun Suripto yang cukup lama tak bekerja, menjadi keenakan menikmati kondisinya yang telah diambil alih oleh istrinya. Suripto tak lebih dari bodyguard Rusmini. Apapun akan dilakukan oleh Suripto untuk Rusmini ketimbang ia mesti bersusah payah mencari nafkah.
Usaha rumah makan milik Rusmini dari waktu ke waktu tampak semakin ramai. Ia pun mengembangkan usaha lainnya dengan membuka salon kecantikan. Untuk menangani kedua usahanya itu Rusmini memiliki banyak pekerja, baik untuk di rumah makan, maupun di salon kecantikan.
Banyak orang menganggap Rusmini sudah hidup cukup makmur; memiliki rumah makan dan salon kecantikan di tempat yang cukup representatif, memiliki mobil keluaran terbaru, dan pergi umrah suami istri.
Siang itu sepeninggal Rusmini dan Suripto pergi melaksanakan umrah, 2 lelaki setengah baya berboncengan naik sepeda motor mendatangi rumah makan dan salon kecantikan milik Rusmini yang tidak buka. Didalam bangunan tempat kedua usaha Rusmini itu hanya ada anaknya, Ratna dan suaminya.
“Bu Rusmini ada, mbak ?” tanya salah seorang dari kedua lelaki yang mencari Rusmini.
“Wah, ibu sedang nggak ada, pak. Ibu sama bapak pagi tadi berangkat umrah, memangnya ada apa ya, pak ?” Ratna balik tanya.
“Waduh, Bu Rusmini ini gimana, bukan melunasi utang-utangnya ke kami, malah pergi umrah,” gerutu lelaki yang berpotongan seperti seorang petugas intel kepolisian.
“Maaf pak, saya tidak ngerti urusan masalah utang ibu,” kata Ratna dengan roman polos.
“Iya sih, tapi nggak etis banget pergi ibadah tapi ninggal utang begitu banyak. Kapan Bu Rusmini pulang ?” tanya lelaki itu lagi, sementara temannya cuma diam dengan muka tanpa ekspresi.
“Saya kurang tau juga, mungkin sekitar 2 minggu baru pulang,” sahut Ratna yang menghadapi kedua orang tersebut tanpa didampingi suaminya yang sedang tidur.
“Bilang nanti ke Bu Rusmini kalo dia sudah pulang; kami mencarinya untuk minta supaya semua utangnya dilunasi,” ketus lelaki itu sambil melangkah dan menaiki sepeda motor.
Ratna termangu mendengar perkataan ketus lelaki itu. Sungguh ia tak mengetahui apa yang dilakukan ibunya selama ini.
Sejak meninggalkan rumah menuju ke bandara, Rusmini tak menghidupkan ponselnya. Ia pun minta agar Suaminya juga tak menghidupkan ponselnya. Rusmini tak mau perjalanannya umrah bersama suaminya menjadi terganggu oleh orang-orang yang bisa menghubungi mereka.
Sepanjang perjalanan yang memakan waktu sekitar 4 jam, Rusmini lebih banyak diam merenungkan perjalanan hidupnya. Ia berdoa agar diberi keselamatan hingga kembali pulang ke rumah. Sementara itu Suripto sudah sejak lebih sejam yang lalu tidur.
Ponsel Ratna yang ia taruh diatas meja rias berdering, ia pun mengangkatnya.
“Halo, ini siapa ya ?” tanya Ratna.
“Aku mama Aisyah. Aku mau tanya Bu Rusmini, kok ponselnya ga aktif sih, untungnya aku dapat nomer kamu ini dari anak buah Bu Rusmini yang di salon,” cerocos suara di ponsel.
“Ibu ga ada, tante. Beliau sama bapak berangkat umrah, ada apa ya tante ?” tanya Ratna.
“Hah apa ?! Pergi umrah ?! Enak bener !” suara di ponsel itu seperti berteriak.
“I…iya, tante, kenapa ?” Ratna menjawab agak gugup.
“Sebel tau, enak aja main pergi, utangnya 4 juta sama aku ga dibayar,” suara di ponsel itu masih kencang.
Ratna hanya bisa terdiam sambil termangu dengan mata yang berkaca-kaca.
“Dengar ya, bilang ke ibumu kalo dia pulang nanti, lunasi utang-utangnya jangan main janji-janji aja dan main pergi,” masih terdengar suaranya, lalu putus.
Malamnya Ratna usai makan malam dengan suaminya, bercerita mengenai orang-orang yang mencari ibunya.
“Kamu belum tahu gimana sepak terjang ibu diluar ?” tanya Herman, suaminya.
Ratna tak menyahut pertanyaan suaminya yang seolah sedang mengujinya, ia cuma menggeleng.
“Aku sering dengar orang-orang diluar ngomong soal ibu yang utang kesana kemari. Kupikir kamu tau gimana ibu,” kata Herman.
Lagi-lagi Ratna hanya bisa menggeleng.
“Bahkan aku dengar beberapa tetangga sini ngomong; mobil yang dibeli ibu itu uangnya berasal dari utang. Dan lebih parah lagi ada yang ngomong; untuk pergi umrah itu berasal dari uang arisan yang untuk membayarnya juga uang utangan,” ungkap Herman.
Ratna hanya menjadi pendengar, hanya bisa menghela nafas panjang.
“Terus kemana uang hasil usaha ibu selama ini ?” Ratna seolah bertanya kepada dirinya sendiri.
“Itulah aku yang tak mengerti selama ini. Usaha cukup ramai begini tapi utang menyebar kesana kemari,” cetus Herman dengan muka heran.
Di tengah suami istri itu larut dalam pikiran mereka masing-masing mengenai orangtua mereka, ponsel Ratna berdering.
Dengan langkah gontai Ratna meraih ponselnya yang ia letakkan di meja tempat tivi.
“Halo, dengan siapa, ya ?” tanya Ratna.
“Saya Bu Dina. Saya mau bicara dengan Bu Rusmini, bisa ya ?” sahut suara di ponsel.
“Ini bukan nomer Bu Rusmini,” jawab Ratna tak ingin melayani si penelpon sambil memutuskan pembicaraan.
Merasa tak dilayani, ponsel Ratna kembali berdering, yang menelpon kembali adalah yang mengaku bernama Bu Dina itu.
Ratna membiarkan ponsel itu tetap berdering hingga berhenti sendiri. Tapi orang itu tetap ngotot terus menelponnya. Ratna tetap tak mau melayaninya dengan mengaktifkan profile silent di ponsel agar tak terdengar bunyi deringan.
Lebih sejam kemudian setelah Ratna memerika ponselnya, terdapat 14 kali panggilan masuk oleh nomer yang sama, nomer Bu Dina. Dan terdapat 1 SMS di kotak masuk, lumayan panjang, bunyinya; “ga apa-apa kamu tak mau angkat ponselku. Aku tau ibumu, Bu Rusmini pergi umrah dengan membawa serta ponsel BB yang belum ia lunasi ke aku. Semoga Bu Rusmini selamat hingga pulang kembali ke rumah, sadar, dan melunasi segala utangnya. Kita boleh miskin, asal jangan banyak utang.”