Namun aku disini bukan untuk membahas masalah “ngabuburit” apalagi cuma sekedar “burit”. Yang ingin aku tulis adalah ceritaku, cerita pada keluarga kami menjelang berbuka puasa.
foto : bersosial.com |
Beberapa saat menjelang buka puasa, biasanya kami berada tak jauh-jauh dari radio. Maklum pada waktu itu di tahun 1970-an, yang namanya televisi, apalagi keluarga kami tinggal di pelosok pulau Kalimantan, hampir tak ada seorang warga pun di kampung kami yang memiliki televisi yang kala itu merupakan barang mewah.
Bagi anggota keluarga yang sedang berpuasa, diistimewakan, sedangkan yang tak berpuasa, mendapat giliran belakangan menanti hingga yang berpuasa selesai berbuka.
Semua penganan yang telah disiapkan oleh mendiang ibuku tersaji di depan anggota keluarga yang sedang berpuasa. Sedangkan yang tak berpuasa, adik-adikku yang masih belum cukup umur dilarang mendekat dan mengganggu yang sedang menanti berbuka puasa. Makanya aku selalu berusaha agar tetap terus berpuasa agar mendapat keistimewaan mendapat giliran pertama mencicipi semua penganan yang disiapkan mendian ibu.
Bapakku yang tak berpuasa karena berhalangan, pun tetap mematuhi aturan keluarga yang tak tertulis untuk mengistimewakan yang sedang berpuasa. Bapak akan makan malam setelah semua anggota keluarga yang berpuasa selesai berbuka.
Selama bertahun-tahun aturan itu tetap berlaku. Anggota keluarga kami yang tak berpuasa mesti tahu diri untuk tidak mendekati mereka yang sedang menanti berbuka puasa dengan hidangan yang tersaji.
Kini setelah aku memiliki keluarga sendiri, aturan tersebut tak lagi kuterapkan pada keluargaku. Bukan aku tak setuju dengan aturan itu lagi, tapi keluargaku kini bukan seperti keluarga kami dulu yang mana orangtuaku memiliki banyak anak.