Kolonial Belanda memang licik, Sultan Hasanuddin, Raja Bone yang melawan, ditipu dengan perjanjian Bongaya, ia ditawan dan dibuang. Pangeran Diponegoro (Ontowiryo) juga ditipu dengan Perjanjian Linggarjati. Yang lain, Tuanku Imam Bonjol pun diperlakukan sama.
Para pejuang kebebasan dan kemerdekaan lainnya ; Raja Batak, Si Singamaraja, Teuku Umar, Pattimura (Thomas Matulessy), Wolter Monginsidi, yang tak mau berdamai dengan Kolonial Belanda, akibatnya adalah tewas.
Beberapa kerajaan di Nusantara yang melawan Kolonial Belanda, diserang dan kemudian dihapus, kecuali ada kerajaan di pulau Jawa yang hingga kini masih eksis.
Kerajaan Banjar di Kalimantan (Selatan), seorang keturunannya juga angkat senjata melawan Kolonial Belanda. Pangeran Antasari, keponakan Sultan Adam, Raja Banjar, dibantu rakyat Banjar dan Dayak melawan tentara penjajah. Perang Banjar yang hampir-hampir dilupakan dan tak dicatat dalam sejarah perjuangan di Nusantara ini, padahal dalam perang tersebut Kolonial Belanda mengalami kerugian besar dengan tenggelamnya satu kapal perang bernama “Onrust” di sungai Barito oleh pasukan Banjar dan Dayak.
Pangeran Antasari dengan gagah berani memimpin pasukan Banjar dengan semboyan “haram manyarah, waja sampai ka puting”, lebih rela wafat di hutan (Bayan Begok) digerogoti penyakit cacar ketimbang ditipu dengan perjanjian layaknya Sultan Hasanuddin dan Pangeran Diponegoro.
Setelah kemerdekaan, Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru memperlakukan P. Antasari tak selayaknya para pejuang lainnya. Sejarah perjuangannya tak tercantum dalam buku PSPB, statusnya pun lama baru ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.