SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Pemilukada Serentak ; Ajang Pembantaian Calon Kepala Daerah - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Sabtu, 01 Maret 2014

Pemilukada Serentak ; Ajang Pembantaian Calon Kepala Daerah

Pemilihan Umum Kepala Daerah atau kini disingkat Pemilukada, sungguh merupakan potret betapa ternyata politik itu benar-benar tak memandang apapun selain kepentingan sesaat.
Saya melihat fenomena ini dari yang telah terlaksana pada Pemilukada Kalimantan Selatan yang diadakan serentak ; Pemilukada Gubernur dan Pemilukada Bupati/Walikota di beberapa Kabupaten/Kota.


Partai Politik telah benar-benar memainkan peranannya hanya pada sebatas kendaraan politik tanpa bertanggung jawab terhadap kenyamanan dan keselamatan penumpangnya hingga mencapai tujuan yang diharapkan.
Partai Politik benar-benar tak lebih terhormat dari sebuah mobil taksi yang dicarter ; bayar, naik, dan diantar.


Apalagi dengan diadakannya Pemilukada Gubernur dan Bupati/Walikota yang serentak bersamaan waktunya, para Calon Kepala Daerah amat sangat dirugikan oleh Partai Politik.
Lihat saja, di Pemilukada Gubernur ; Parpol A berkoalisi dengan Parpol B dan Parpol C, sementara pada Pemilukada Bupati di Kabuputen 1, Parpol A berkoalisi dengan Parpol D, Parpol E dan Parpol F, kemudian di Pemilukada Kota 1 ; Parpol B berkoalisi dengan Parpol D dan Parpol F, lalu di Pemilukada Kabupaten 3 ; Parpol C berkoalisi dengan Parpol E, Parpol G dan Parpol H, begitupun di Pemilukada pada Kabupaten 5 dan Kota 2 ; Parpol yang berkoalisi saling berlainan, bikin bingung para konstituen dan simpatisan masing-masing Parpol yang bersangkutan.
Lalu yang terjadi adalah dalam tubuh Parpol yang sama, saling sikut, saling cubit dan saling dorong. Maka yang diuntungkan siapa ? Sudah pasti para elite Parpol, dengan mengabaikan hak politik rakyat ke arah yang benar.


Sedangkan para Calon Kepala Daerah yang cuma jadi penumpang yang sudah membayar mahal kendaraan politik, tak dapat berharap banyak kepada kendaraan yang ditumpanginya. Maka, jalan satu-satunya yang paling mungkin dan realistis untuk mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu bagi-bagi sembako, kaos, uang, dan umbar janji-janji palsu.

Semestinya penyelenggaraan antara Pemilukada Gubernur dilaksanakan dengan waktu yang berbeda terhadap Pemilukada Bupati/Walikota. Begitupun pelaksanaan Pemilukada Bupati 1 berbeda dengan Pemilukada Bupati 2, Pemilukada Walikota 1 dan seterusnya. Pola semacam ini agar tiap Parpol pengusung Calon Kepala Daerah di tingkat Pemilukada Gubernur akan satu aspirasi dan strategi dengan Parpol turunannya di tingkat Kabupaten/Kota hingga ke tingkat paling bawah. Sehingga mesin politik Parpol pengusung benar-benar bekerja efektif dan terarah, bukan malah saling kontradiktif dan saling berbenturan dengan kepentingan masing-masing.

Sebagai ilustrasi, pada Pemilukada Gubernur Kalsel periode 2010-2015 yang waktunya serentak dilaksanakan pada 2 Juni 2010 dengan Pemilukada di beberapa Kabupaten/Kota ; Partai Golkar dan Gerindra mengusung Pasangan Rudy Arifin-Rudy Resnawan, PKS dan Partai Demokrat mengusung Pasangan Zairullah Azhar-Habib Aboebakar Al Habsy, sedangkan pada Pemilukada Kabupaten Tanah Bumbu, Partai Golkar berkoalisi dengan PKS mengusung Pasangan Burhanuddin-Surinto. Lalu Gerindra dan Partai Demokrat mengusung Pasangan Cabup-Cawabup Tanah Bumbu, Iqbal Yudiannor-Hasbi. Ini benar-benar permainan kotor yang hanya mementingkan kelompok dan elite Parpol, sama sekali tak mewakili aspirasi arus bawah (grass root). Dan disinilah terjadi semacam ajang pembantaian para Calon Kepala Daerah.

Terus, keuntungan apa, dan siapa yang diuntungkan dari pelaksanaan Pemilukada Gubernur dan Pemilukada Bupati/Walikota yang waktunya serentak bersamaan ? Keuntungannya hanya soal waktu, sedangkan yang diuntungkan adalah selain Parpol pengusung yang kebanjiran “uang taksi tumpangan”, juga Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang tak banyak kerjaan harus menyelenggarakan Pemilukada berkali-kali karena waktu yang berbeda-beda. Yang rugi adalah para Calon Kepala Daerah yang mesti merogoh kocek dalam-dalam membayar mahal biaya politik untuk meraih jabatan, para konstituen dibuat bingung, dan rakyat tak pernah akan dewasa dan pintar dalam berpolitik.