Andai pak Harto masih hidup, beliau kemungkinan akan ketawa kecut melihat kondisi negeri ini yang semakin carut marut. Beliau tentu akan flashback mengenang masa-masa dimana beliau memimpin negeri ini, dimana semua tersentralisasi pada satu muara pemerintahan, eksekutif.
Kaum muda idealis boleh saja mengkritik, menghujat habis-habisan pola pemerintahan pak Harto yang dianggap cenderung diktator. Tapi sementara kaum tua, wong ndeso yang mayoritas di negeri ini tetap mengenang masa-masa dimana keamanan cukup terjamin ; tak ada preman, tak ada teroris, posisi rupiah yang cukup kuat terhadap mata uang asing, dsb, dstnya.
Pemerintahan cukup stabil ; tak ada bupati/walikota yang menyalip kewenangan gubernur. Kini suasana amat jauh berbeda daripada di masa-masa The Smiling General itu menjadi Presiden. Semua kini masing-masing ingin jadi penguasa di daerahnya.
Otonomi Daerah, Kepala Desa jadi Raja di Desanya, begitupun Bupati, Walikota dan Gubernur bertindak jadi Raja-Raja kecil. Macam-macam aturan pun dibuat tanpa memperhatikan apakah sesuai aspirasi rakyat. Tak kurang institusi agama pun ikut-ikutan membuat fatwa-fatwa atas nama kepentingan umat yang mengatasnamakan ayat-ayat Tuhan.
Negeri ini tampaknya sudah dikepung oleh berbagai aturan yang sepintas tampak populis namun memihak kepada kapitalis ; kapitalis murni, atau birokrat kapitalis, atau kapitalis yang ingin menguasai birokrat agar kepentingan mereka tetap mendominasi tak tergoyahkan.
Rakyat, wong cilik, ndeso, tetaplah pada posisi marginal, yang baru akan disentuh dan ditarik kedalam lingkaran jika dianggap punya nilai kepentingan politis, lalu sesudahnya didepak lagi kembali ke habitatnya.
Orang sini bilang, “sapuluh kali batang batindih, tatap bilungka jua nang ramaknya”, artinya tetap saja mentimun yang remuk oleh akibat tindihan batang pohon.