Usai menemui Pemimpin Redaksi dimana aku berkerja sebagai salah seorang jurnalis, bersama seorang teman yang juga seprofesi, kami sempat jalan-jalan didalam kota Banjarmasin. Karena sedari tadi pagi perut cuma diisi dengan segelas teh hangat dan sepotong kue, kami pun memutuskan untuk mampir makan di sebuah warung makan di tepi jalan umum.
Ketika memasuki warung itu, beberapa orang yang selama ini kami kenal, lebih duluan menyapa. Mereka, beberapa orang itu selama ini kami kenal sebagai jurnalis meski tak mengetahui di media mana mereka berkerja.
Kami pun terlibat percakapan seputar profesi. Dari mereka kami ketahui; mereka sedang akan mendatangi sebuah kantor perusahaan di bidang industri perkayuan yang cukup besar di Kalimantan Selatan. “Kantornya di seberang warung ini, ikut kami aja sekalian mumpung sedang di Banjarmasin,” ajak mereka.
Menurut mereka, tiap bulan para jurnalis datang ke kantor perusahaan perkayuan itu untuk mengambil ‘jatah’, tak begitu besar; Rp 50 ribu per orang. Namun tambah mereka lumayan untuk mengisi kocek sebagai tambahan dari beberapa jatah lainnya, yang jika dikumpulkan lumayan banyak juga.
Kami berdua secara halus menolak ajakan mereka untuk ikut dapat jatah tersebut. Bagi aku dan teman yang bertugas di daerah kabupaten, duit sebegitu nilainya terlalu kecil jika dibanding dengan kesalahan yang dilakukan sebuah perusahaan, apalagi perusahaan perkayuan yang tiap hari membabat hutan pulau kalimantan.
Seingatku itu terjadi beberapa tahun lalu. Entahlah kini apakah perusahaan yang doyan memberi jatah ke jurnalis atau wartawan masih eksis. Karena kini yang doyan memberi jatah sudah berganti dengan perusahaan di bidang pertambangan. Selain itu terdapat pula instansi pemerintah yang ikut doyan memberi jatah ke wartawan, siapa lagi kalau bukan dinas-dinas yang tergolong ‘basah’ seperti Pertambangan, Pekerjaan Umum, Pendidikan, ataupun Kesehatan. Yang aku ketahui, di daerah biasanya Dinas Pekerjaan Umum rutin memberi proyek kepada beberapa wartawan yang dianggap potensial mengutak atik proyek, begitupun dengan beberapa dinas lainnya itu. Hal ini tampaknya terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Ketika sempat mengikuti Diklat di sebuah kota kabupaten di Jawa Tengah; beberapa rekan wartawan dan jurnalis disana mengungkapkan mereka memperoleh proyek dari Pemkab setempat yang didistribusikan melalui Bagian Humas.
Tak ada yang tak senang jika tiap bulan diberi jatah berupa uang, apalagi berupa proyek yang nilai uangnya cukup besar. Namun kita mesti heran dan mempertanyakan uang dari mana yang diberikan tersebut ? Karena jelas mustahil jika uang jatah tiap bulan yang diberikan kepada para wartawan itu dari gaji seorang Kepala Dinas. Adapun pemberian proyek kepada wartawan ataupun jurnalis, jelas tujuannya untuk sebagai antisipasi dan meredam ‘keusilan’ pihak media terkait kinerja di dinas maupun instansi yang bersangkutan.
Nah, logika awam saja pasti bisa menebak. Uang yang diberikan itu sudah dipastikan dari hasil kong kali kong antara instansi terkait tersebut dengan para pengusaha atau perusahaan pertambangan.
Selain itu, instansi lainnya yang berlaku sama, suka memberikan uang kepada para wartawan atau pekerja pers; juga patut dicurigai uangnya berasal dari hasil yang tidak legal. Dan sebagian besar para wartawan dan pekerja pers yang masih suka menerima uang didalam amplop, aku pastikan tak akan memperdulikan dari mana uang yang mereka terima itu berasal. Istilah yang kami pakai untuk itu adalah; uang berasal dari hantu diberikan kepada setan.
Perlu kita ketahui, bayaran atau gaji untuk seorang wartawan atau jurnalis di Indonesia, masih belum sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bahkan tak sedikit dari para pekerja pers itu yang sama sekali tak dibayar oleh perusahaan medianya. Penghasilan para pekerja pers yang tak dibayar ini berasal dari komisi pencarian iklan, advertorial, ataupun komisi dari penjualan hasil cetak media itu sendiri. Jadi fungsi seorang pekerja pers di negeri ini tak sedikit yang merangkap; wartawan sekaligus biro iklan dan loper. Maka dari itu masalah menerima ‘amplop dan proyek’ oleh para pekerja pers, belum akan usai selama masih ada diantara mereka yang belum dibayar atau digaji, ataupun dibayar namun tak sesuai dengan tugas dan fungsi. Maka istilah ‘dibawah lindungan amplop dan proyek’ akan tetap eksis dan berlanjut.