SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Duit Sobek Membuat Pertunangan Kami Putus - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Minggu, 23 Maret 2014

Duit Sobek Membuat Pertunangan Kami Putus

“Kita harus memutuskan tali pertunanganmu itu !” geram ibu dengan wajah mengeras.
“Kenapa begitu, bu ?” tanyaku terkejut.
“Sebagai ibu yang menyusui dan membesarkanmu, aku tak akan pernah rela bila ada yang menghina anakku tak terkecuali calon ibu mertuamu,” tegas ibu sambil mondar mandir di ruang tamu dimana kami berada.

Aku cuma bisa dapat tertunduk dan berpikir dalam benakku kenapa ibu begitu marah, sehingga akan memutus tali pertunanganku dengan Aina, yang dalam beberapa minggu ke depan direncanakan akan menikah.

Aku juga membayangkan betapa akan sedihnya Aina jika kebahagiaan yang sudah di ambang mata akan sirna begitu saja.
“Aina tidak bersalah. Itu ulah ibunya,” desisku memberanikan diri menyanggah perkataan ibu barusan.
“Ya, aku tahu itu bukan salah Aina, tapi jika hubungan kalian diteruskan ke pernikahan, maka ibunya akan ikut campur di rumah tangga kalian,” ketus ibu.
Kembali aku terdiam sambil berpikir bagaimana mendapatkan kalimat yang tepat untuk meluluhkan keinginan dan emosi ibu.
“Belum jadi ibu mertuamu saja dia sudah berani menghinamu, apalagi nanti. Sudahlah, jika kau ingin tetap menjadi anak ibu, kau harus turuti ibu. Besok aku akan datang sendiri ke rumah Aina, memutuskan pertunangan kalian, titik,” pungkas ibu lalu meninggalkanku dalam pikiran dan perasaan yang galau tak keruan.

Akhirnya keinginan ibu memutuskan pertunanganku dengan Aina pun ia lakukan.
“Aku sudah putuskan pertunangan kalian, ini cincin pertunangan dikembalikan oleh keluarga Aina,” ujar ibu sambil meletakkan ceutas cincin emas yang dibungkus dengan sapu tangan berwarna biru muda diatas meja.
Kembali aku membayangkan diriku akan dikatakan lelaki kejam oleh Aina, lebih menuruti kemauan ibuku daripada mempertahankan cinta kami, padahal aku dan Aina sedang dalam masa-masa yang sangat berbahagia sejak berpacaran sekitar 4 bulan lalu yang kemudian dilanjutkan dengan pertunangan.

“Bang Fahmi, kamu diminta Aina datang ke rumahku, dia sedang menunggu, ada yang ingin dia bicarakan,” ujar Dinah, teman akrab Aina.
“Sama siapa Aina di rumahmu ?” tanyaku.
“Dia sendiri, orangtuaku sedang ke desa tetangga menjenguk keluarga kakakku,” jawab Aina sambil menarik lenganku, setengah menyeretku ke rumahnya.
“Iya, iya, tapi jangan main seret begitu, tak enak dilihat banyak orang yang lalu lalang,” ujarku sambil menarik lenganku hingga terlepas.

Saat aku memasuki rumah Dinah, tampak Aina yang duduk di ruang tamu, membelakangi pintu masuk.
“Assalamu alaikum,” salamku.
“Wa alaikum salam,” sahut Aina dengan suara serak seolah habis menangis.
Aku duduk tak jauh dari Aina, sekitar satu depa dari tempatnya duduk.

“Bang Fahmi kejam, lupa dengan janji-janji kita,” suara Aina masih terdengar serak dengan masih membelakangiku.
“Itu bukan kemauanku, tapi ibuku, aku sudah cukup membela diri,” jawabku terbata menahan gejolak haru yang tiba-tiba menyergapku.

Cukup lama aku dan Aina terhanyut dalam perasahaan masing-masing. Aku bangkit dari duduk, melangkah ke tempat Aina, aku sentuh bahunya.
“Mungkin kita bukan jodoh. Aku tetap mencintaimu meski tak dapat memilikimu,” ungkapku dengan penuh perasaan.
Aina berpaling ke arahku, isak tangisnya tumpah ruah. Kubiarkan Aina melepaskan tangisnya di pelukanku. Kupikir hanya dengan cara beginilah Aina melepaskan segala kesedihannya.
Sebelum kami berpisah, kudaratkan kecupan terakhir di kening Aina sambil berbisik, “aku mencintaimu, dan akan selalu mengenangmu.”

Aku jadi penasaran terhadap kalimat dari ibu Aina yang dianggap ibuku menghina aku, anaknya.
“Apa sih sebenarnya yang diucapkan oleh ibu Aina sehingga ibu begitu murkanya, dan memutuskan pertunangan kami ?” tanyaku ke ibu dengan hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
“Ibu Aina cerita ke teman-temannya yang juga kenal dengan ibu; kamu dikatakan ‘duit sobek’,” ungkap ibu dengan sedikit emosi.
“Cuma dikatakan ‘duit sobek’ sehingga ibu marah dan merasa terhinakan ?” susulku.
“Kalimat itu cuma peribahasa, namun bagi itu sangat menghina, kamu itu tidak mengerti maksudnya,” jelas ibu masih dengan emosinya.
Aku hanya geleng-geleng kepala belum mengerti apa yang dimaksud ibu.
“Taruhlah misalnya kamu itu diibaratkan duit kertas paling besar nilainya; selembar duit seratus ribuan, sulit laku dan dibelanjakan jika belum ditambal terlebih dahulu,” beber ibu.

Kini barulah aku mengerti kenapa ibu merasa terhina; aku, anaknya sangat bernilai baginya, namun di mata orang lain memiliki kekurangan yang masih harus diperbaiki.