Ketika Aceng Fikri melegalisir semua ijazahnya, ia datang ke bekas sekolah dan menemui Kepala Sekolahnya tanpa mengeluarkan biaya, berjalan kaki dari rumahnya. Setelah ijazahnya dilegalisir, Aceng Fikri mengucapkan, “terima kasih pak, doakan saya agar terpilih jadi Bupati.”
Aceng Fikri mendaftar ke KPU, juga jalan kaki santai sambil berolah raga, juga tanpa biaya apapun. Ucapan Aceng ke petugas KPU yang menerima pendaftarannya juga persis sama, “terima kasih saudara, doakan dan pilih saya agar jadi Bupati.”
Aceng menebar stiker, spanduk, baliho, hingga kartu nama kemana-mana, semua itu juga tanpa biaya sepeser pun. Semua ia peroleh dan dapatkan secara cuma-cuma alias gratis.
Bahkan Aceng tak memberikan apapun kepada para warga. Ia tak seperti Calon Bupati lainnya yang menggelontorkan banyak duit memberi warga agar memilihnya. Lagi-lagi ia berkata, “terima kasih, pilihlah saya untuk jadi Bupati.” Ia berkampanye ke seluruh daerah cuma jalan kaki; tanpa air kemasan gelas, juga tanpa nasi bungkus, semua dilakukan tanpa biaya.
Maka ketika Aceng Fikri benar-benar terpilih jadi Bupati Garut, dia lah satu-satunya Bupati yang meraih jabatannya secara gratis, tanpa sepeser uang pun ia rogoh dari koceknya.
Dimana-mana di seluruh negeri ini, jadi seorang Kepala Desa pun dipastikan merogoh kocek cukup dalam. Tapi itu tak berlaku bagi Aceng Fikri.
Namun benarkah demikian ? Itu menurut perkiraan saya saja. Nyatanya Aceng Fikri bisa dengan tenang dan pasrahnya menanti waktu lengser dari jabatannya pasca Keputusan Mahkamah Agung (?)
Hanya orang yang secara gratis meraih dan mendapatkan jabatan yang bisa setenang dan sepasrah si Aceng itu. Yang biasa terjadi justru pihak yang dikalahkan pada Pemilukada, merasa dicurangi, lalu membawa permasalahannya ke jalur hukum; tak mau menerima kekalahan begitu saja.
Aceng Fikri, enaknya bisa terpilih jadi Bupati cuma dengan ucapan; “terima kasih sudah memilih saya.” Dan; “terima kasih sudah melengserkan saya pula.”