Tadi pagi tanpa sengaja Amri bertemu Rukayah di pasar kampung. Amri datang ke pasar itu untuk mencari peralatan mandi; sabun, shampo, sikat gigi, pasta, dan alat cukur.
Hampir saja Amri tak mengenali Rukayah yang berubah agak gemuk, jika saja bukan Rukayah yang duluan menyapanya.
“Kamu Bang Amri, kan ?” sapa Rukayah dengan wajah agak ragu.
“Memangnya kenapa ?” balik Amri bertanya.
“Nama Abang Amri atau bukan, kalau bukan, maaf,” ujar Rukayah sambil menarik tangan gadis yang menyertainya.
“Benar, namaku Amri,” sahut Amri.
Mendengar jawaban Amri, Rukayah mengurungkan langkahnya untuk berlalu, lalu mengulurkan tangan menyalami Amri.
“Lagi cari apa ke pasar ?” tanya Rukayah.
“Cari peralatan buat mandi,” sahut Amri sambil memandang tajam ke arah gadis cantik yang bersama Rukayah.
“Oh iya, perkenalkan ini Raudah anakku satu-satunya, anak kamu sudah berapa ?” tanya Rukayah lagi.
Ditanya Rukayah seperti itu Amri jadi agak gelagapan.
“Oh ya, aku belum punya anak,” singkat Amri.
Tak banyak yang Amri bicarakan saat ketemu Rukayah tadi di pasar. Apalagi dengan statusnya yang masih lajang di usia yang sudah cukup tua, Amri tak ingin mengungkapkannya kepada Rukayah, apalagi di depan anak gadis Rukayah.
Sambil berbaring di kasur Amri mengingat waktu puluhan tahun lalu kala ia masih berseragam SMA bersama Rukayah. Amri kelas 3, sedangkan Rukayah kelas 1, mereka merajut cinta.
Mereka berpacaran cukup singkat, hanya 4 bulan sebelum Amri lulus ujian SMA.
Selepas tamat sekolah Amri pergi begitu saja tanpa sempat pamit ke Rukayah. Seorang paman Amri, adik ibunya menjemput Amri untuk diajak pergi keluar pulau. Amri meneruskan kuliah di pulau Jawa atas biaya pamannya itu.
Cukup lama tak ada kabar dari Rukayah selama Amri meninggalkan kampungnya.
Amri menulis surat kepada ibunya, menanyakan keadaan keluarganya, juga kabar beberapa temannya termasuk Rukayah.
Keluarga Amri dan keluarga Rukayah memang saling kenal meski rumah mereka saling berjauhan.
Balasan surat dari ibunya mengabarkan tak lama sepeninggal Amri, Rukayah dinikahkan oleh keluarganya dengan seorang pria dari kampung lain. Jadi Rukayah terpaksa berhenti sekolah. Itu yang diketahui oleh Amri, setelah itu ia tak lagi mengingat-ingat Rukayah hingga mereka bertemu tadi pagi di pasar.
Amri kembali mengingat peristiwa antara ia dan Rukayah ketika berpacaran di rumah seorang teman sekolah mereka yang orangtuanya sedang pergi ke kota. Waktu itu hanya Amri dan Rukayah yang berada di rumah itu, teman mereka sengaja pergi keluar memberikan kesempatan kepada keduanya untuk bebas pacaran.
“Kamu tidak menyesal kita sudah melakukannya ?” tanya Amri sambil mendekap Rukayah yang masih belum mengenakan bajunya.
Rukayah hanya diam mendengar pertanyaan Amri, ia makin mempererat dekapannya ke Amri.
“Kamu yakin tak terjadi apa-apa nanti ?” tanya Amri lagi.
Rukayah hanya menatap sendu seakan menyesali apa yang sudah mereka lakukan.
Setelah peristiwa di rumah teman mereka itu, seingat Amri, ia dan Rukayah kembali mengulanginya beberapa kali di rumah Amri didalam kamarnya saat orangtua Amri sedang tak ada di rumah.
Terbayang kini raut muka Rukayah yang tetap cantik, tak banyak berubah terkecuali mulai tampak sedikit kerutan di tepi matanya. Terbayang pula di benak Amri raut muka anak gadis Rukayah. “Ia lebih cantik dari ibunya ketika masih gadis,” gumam Amri.
Amri teringat mata gadis itu tatkala menatapnya tadi pagi. Mata itu sepertinya sangat Amri kenal. Mata itu mirip sepasang mata miliknya yang menatap tajam bak mata seekor burung elang.
Beberapa hari kemudian kembali Amri bertemu Rukayah di sebuah warung makan. Rukayah datang sendiri tanpa anak gadisnya.
“Wah ketemu lagi, bang Amri,” tegur Rukayah dengan muka ceria.
“Syukurlah kita masih bisa ketemu lagi,” sahut Amri sambil menggeser duduknya memberi tempat agar Rukayah bisa duduk dekatnya.
“Sedang nggak masak di rumah, jadinya makan di warung aja,” ujar Rukayah sembari duduk dekat Amri.
“Sama. Aku memang terbiasa makan di warung karena tak ada yang masak,” kata Amri sambil senyum.
“Kok begitu bang, istrinya kemana ?” tanya Rukayah heran.
Mendengar pertanyaan Rukayah seperti itu, Amri pun tersadar kalau ia bakalan membongkar statusnya.
“Aku dari dulu memang belum menikah,” sahut Amri datar.
“Serius, masih bujangan ?” tanya Rukayah mengecilkan suaranya.
Amri cuma mengangguk pelan.
“Suamimu mana ?” tanya Amri mengalihkan pembicaraan.
“Suamiku ada di kampungnya. Aku dan Raudah datang menengok ibu yang sedang sakit. Besok suamiku rencana datang menjenguk ibu sekalian menjemput kami,” ungkap Rukayah.
Cukup lama Amri dan Rukayah berada di warung makan itu. Mereka sengaja berlama-lama berada disana. Rukayah pun tampaknya enggan beranjak dari warung itu. Dalam hati Rukayah inilah saatnya ia mengungkap tentang anaknya Raudah kepada Amri.
“Tak berapa lama setelah Bang Amri pergi, aku dinikahkan oleh orangtua,” ujar Rukayah.
“Ya, aku tahu itu dari surat ibuku,” sahut Amri.
“Aku terpaksa menikah agar bayi dalam kandunganku memiliki seorang ayah,” cerita Rukayah agak terisak.
Amri hanya terdiam mendengar penuturan Rukayah.
“Setelah Raudah lahir, aku tak pernah lagi hamil. Menurut dokter aku bisa hamil, suamiku yang mandul,” lanjut Rukayah.
“Jadi Raudah itu……..,” suara Amri tercekat.
“Ya, Raudah itu anak Bang Amri dari hasil hubungan kita dulu,” sahut Rukayah dengan tekanan suara menurun nyaris tak terdengar.
Amri hanya terpana, di benaknya membayang raut wajah Raudah yang berganti-ganti dengan wajah Rukayah yang kini berada di depannya.