SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Hari Pers Nasional di Antara Banyak Wartawan Tanpa Gaji - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Selasa, 04 Maret 2014

Hari Pers Nasional di Antara Banyak Wartawan Tanpa Gaji

Menyambut Hari Pers Nasional tahun 2012 ini, berharap terjadi perbaikan kualitas para pelaku pers, pelaku jurnalistik, atau lebih mudahnya wartawan, yang tidak saja perbaikan kualitas profesi tapi juga perbaikan kondisi ekonomi dan status sosial mereka.

Sebagai kebanyakan orang awam, bila mendengar nama pers, maka bayangan yang muncul adalah wartawan, meskipun banyak sebutan lainnya seperti jurnalis, maupun pewarta.

Wartawan juga manusia. Keinginan dan harapan para wartawan juga pasti sama dengan kebanyakan manusia lainnya.

Wartawan ingin sejahtera, bahkan ingin kaya, manusiawi kan……?

Namun apa mungkin keinginan dan harapan sebagian besar wartawan itu dapat tercapai ? Berapa sih gaji seorang wartawan ?

Sangat ironis dan bahkan tragis bila hari sebelumnya, hari ini, dan akan datang kita masih mendengar ada wartawan melakukan intimidasi, pemerasan, atau istilahnya premanisme jurnalistik terhadap sumber berita maupun objek berita.

Bila kita mau membuka mata dan telinga lebar-lebar, ternyata selama ini banyak wartawan yang dibayar atau digaji tak sesuai dengan tugasnya yang penuh risiko. Dan bahkan tak sedikit pula wartawan yang tak dibayar dan digaji oleh perusahaan media tempatnya bekerja.

Anda tak percaya ? Coba telusuri dan tanyakan kepada para wartawan yang bekerja sebagai wartawan koran mingguan, 10 harian, atau tengah bulanan. Mereka tak saja bekerja tanpa bayaran, malahan ada yang mesti setor uang deposit untuk jaminan koran oleh perusahaan ke mereka ketika melamar untuk jadi wartawan. Dibebani kewajiban mencari iklan serta membayar tiap eksemplar koran yang dikirimkan ke mereka tiap edisi.


Kita boleh membandingkan para wartawan tanpa gaji ini dengan mereka yang digaji, membandingkan kualitas pekerjaan mereka, maupun sepak terjang mereka di lapangan. Pada umumnya para wartawan tanpa gaji lebih agresif dan punya nyali ketimbang yang bergaji. Karena bagi para wartawan tanpa gaji, bila tak agresif dan berani, maka tak memperoleh hasil. Mereka ini kebanyakan tak segan-segan meminta atau menagih uang liputan ke pembuat maupun pemilik acara atau hajatan.

Tapi jangan stop mikir dulu. Seorang wartawan kenalan saya yang bekerja pada sebuah koran paling terkenal dan terkemuka di wilayah Kalimantan Selatan, ia cuma digaji Rp 1.300.000 per bulan. Gaji dan bayaran sebesar ini untuk hidup di Kalsel, pasti tak akan pernah cukup memenuhi kebutuhan hidup sebulan.

Itu bayaran atau gaji yang cukup tinggi jika dibandingkan koran lainnya yang hanya menggaji wartawannya antara Rp 300 ribu hingga Rp 750 ribu per bulan. “Masih untung mereka ada gaji yang bisa diharapkan tiap bulan. Sedangkan kami justru memikirkan setoran bayar koran tiap bulan,” ungkap beberapa wartawan koran mingguan.

Ini fakta yang terjadi di daerah saya, yang tak menutup kemungkinan dialami oleh para wartawan di daerah lainnya di seluruh Indonesia.

Bila hari ini atau ke depannya para wartawan dituntut memiliki kompetensi di bidang profesinya, saya rasa belum tepat bila tak diimbangi dengan melakukan pembenahan aturan main terhadap perusahaan media massa untuk berbagai jenis wahana. Jika tidak, para pemerhati pers jangan pernah berharap independensi wartawan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Anjuran, peringatan, ataupun larangan terhadap wartawan untuk tidak menerima “amplop” ataupun pemberian dari objek berita, selama ini cuma jadi bahan olok-olok, “dilarang menerima amplop kecuali isinya.”

“Buat apa menerima amplop tanpa isi ? Masih ada cara lain yang lebih halus, transfer ke rekening bank,” ujar beberapa wartawan.

Tulisan ini saya persembahkan untuk memperingati Hari Pers Nasional yang tahun ini digelar di Jambi. Semoga tulisan ini membuka mata kita semua terhadap bagaimana kondisi sebenarnya yang dialami banyak wartawan di negeri yang para preman tak saja memalak mangsanya di banyak terminal, tapi juga banyak preman yang bisa jadi legislator dan pejabat publik, bahkan tak sedikit mungkin ada preman yang juga beralih profesi sebagai wartawan, sehingga melakukan praktik premanisme jurnalistik.

Jangan apriori terhadap tulisan saya ini, coba telusuri faktanya. Kepada para wartawan, boleh saja bersikap apologis terhadap profesinya, namun alangkah bijak bila introspeksi internal, jangan bersikap ‘gajah di pelupuk mata tak tampak, sedangkan semut di seberang lautan kelihatan’. Selamat Hari Pers Nasional 2012 !