Jelang nisfu sya’ban yang baru berlalu beberapa hari lalu, istriku tanya, “Abang besok puasa nisfu, nggak ?”
Aku spontan menjawab sekaligus balik bertanya, “Tidak ! Memangnya kenapa ?”
“Katanya bibi temanku bila melaksanakan puasa nisfu sya’ban, sama halnya dengan berpuasa sebulan penuh di bulan ramadhan,” jawab istriku yang mualaf kurang dari setahun lalu.
“Bibi temanmu itu tahu dari mana ?” tanyaku lagi.
“Katanya sih dia dibilangi oleh tuan guru Anu yang terkenal ceramah kemana-mana itu,” balas istriku pula.
Mendengar dari istri ini, aku teringat kembali perkataan yang kurang lebih sama beberapa hari lalu dari seorang Mantan Pejabat Publik di daerahku yang dikenal suka memberikan ceramah agama kemana-mana.
Menurutnya momen nisfu sya’ban merupakan saatnya tutup buku, manusia kembali fitrah, dan seperti yang juga dikatakan istriku, puasa nisfu sya’ban sama dengan berpuasa sebulan penuh di bulan ramadhan.
Terkait masalah itu ia merujuk ke beberapa ulama terkenal yang kematiannya selalu diperingati, atau istilahnya di daerahku disebut khaul. Katanya……….., kata ulama anu, katanya……….., kata Tuan Guru itu. Kalimat ini sering kali kudengar, jarang sekali disebutkan rujukan yang benar-benar shahih dan tak terbantahkan, yaitu ayat al-qur’an atau hadits shahih.
Aku katakan kepada istri seraya bergurau, kalau cuma katanya………….., ya sama juga seperti judul sebuah lagu dangdut yang dikarang dan dinyanyikan oleh pedangdut Mansyur. S, katanya………..
Meski aku meyakini banyak terdapat dalam agama (islam) hal-hal yang tak dapat dinalar oleh logika manusia, tapi aku juga berpendapat hal-hal tersebut yang terkait dengan esensi dan kewenangan Tuhan, bukan pada hal-hal yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab manusia. Kunci dari semua itu memang kembali kepada keimanan seseorang, yang mana dengan keimanannya seseorang bisa saja menerima segala apapun tanpa filter apakah sesuai atau tidak dengan logikanya.
Soal puasa pada nisfu (pertengahan) bulan sya’ban, ini merupakan ranah ibadah yang tebagi menjadi wajib dan sunat. Sepengetahuan saya selama ini ibadah wajib memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari segala macam bentuk ibadah sunat. Puasa di bulan ramadhan pasti lebih tinggi tingkatan dan pahalanya daripada puasa pada bulan-bulan lain karena puasa ramadhan sudah jelas-jelas wajib sesuai yang disyaratkan dalam al-qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.”
Kembali ke soal puasa nisfu sya’ban yang hanya satu hari tapi setara dengan puasa selama satu bulan di bulan ramadhan, sungguh tertolak oleh logika saya. Bagaimana mungkin sehari puasa sunat dapat setara dengan dengan sebulan penuh puasa wajib. Menurut pendapat saya ini dapat melemahkan gairah beribadah wajib bagi umat Islam yang kebanyakan awam terhadap hukum agama, taklid buta kepada para ulama. “Kalau begitu lebih baik puasa satu hari dong di nisfu sya’ban, nggak usah lagi puasa di bulan ramadhan, kan sama juga,” kataku kepada istri yang tampak bengong.
Kemudian perihal tutup buku segala kesalahan dan dosa manusia pada nisfu sya’ban, betapa enaknya menjadi seorang Muslim yang hanya karena kehadiran bulan sya’ban setiap tahun maka segala perbuatan buruk dan dosanya menjadi terhapuskan. Pantas saja banyak orang yang mengaku beragama Islam di negeri ini tapi perbuatannya buruk dan teramat buruk; munafik dan koruptif.
Katanya…………….itu semua katanya, katanya kyai A, katanya ustadz B, katanya tuan guru C, katanya ajengan D, belum katanya………………al-qur’an dan hadits shahih, dan juga belum katanya saya…………..