Rasa lelah dan badan agak pegal terasa hilang begitu saja saat memasuki Jakarta. Padahal perjalanan lumayan jauh membawa Dedi dari Semarang dengan menumpang mobil travel bersama 7 temannya.
Ini kedua kalinya Dedi menginjakkan kakinya di ibukota negara itu setelah 2 tahun sebelumnya. Tak banyak berubah dari kota itu selain kemacetan lalulintas yang kian tak terkendali.
Atas kesepakatan seluruh teman, mereka memutuskan menginap di sebuah hotel kelas Melati di kawasan Senen. Dipilihnya tempat itu lebih karena lokasinya yang tergolong berada didalam kota; mudah belanja keperluan, dan mencari makan.
Dedi dan teman-temannya seprofesi akan menghadiri semacam pelatihan dan pendidikan jurnalistik yang diselenggarakan oleh salah satu organisasi profesi di bidang jurnalistik dan kewartawanan, semacam Diklat singkat selama 3 hari.
Sama seperti Dedi, teman-temannya pun akan memanfaatkan kunjungan ini untuk menikmati suasana kota dan mencari hiburan, serta berfoto di tempat-tempat yang menjadi ikon kota Jakarta; tugu Monas, TMII, Ancol, dan lainnya.
Meski Dedi pernah sebelumnya ke Jakarta, tapi ia tetap saja seperti teman-temannya yang baru pertama kali. Maklum dulu ia tidak sempat jalan-jalan, keperluannya ke salah satu Kementerian.
Untunglah diantara temannya itu terdapat salah seorang yang memang pernah tinggal beberapa lama di ibukota itu, Iwan.
“Tenang aja, men. Nanti malam kita pergi mencari tempat karaoke,” ujar Iwan seperti mengerti kerisauan Dedi yang hobinya di kampung bernyanyi di tempat hiburan karaoke.
“Oh ya, kamu masih ingat tempatnya, men ?” desak Dedi mencoba yakin atas ucapan Iwan yang sudah cukup lama tak ke Jakarta.
“Tenang, aku masih ingat jalan menuju kesana, apalagi aku sudah telpon seorang teman disini, dia bersedia jadi guide kita, hehehe……..,” sahut Iwan meyakinkan sambil terkekeh dan mengangkat jempol kanannya.
Agar mudah jalan-jalan di Jakarta, Dedi memutuskan sekamar dengan Iwan di hotel tempat mereka menginap. Mereka menempati ruang hotel yang cukup lega dengan 2 tempat tidur kapasitas 2 orang berfasilitas, AC, tipi dan mini bar.
“Boleh juga nih kamar, bisa muat 4 orang, sepasang-sepasang, hehehe……” kekeh Dedi lalu menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur.
“Iya juga sih, tinggal cari teman aja nanti malam, hahaha……..” sahut Iwan ngakak.
Langit Jakarta sudah menampakkan gurat-gurat kuning kemerahan, lampu-lampu kota pun sudah menyala menggantikan sinar matahari yang sudah pergi beristirahat di peraduannya. Sebentar lagi tampaknya suara azan akan berkumandang memanggil mereka yang ingin mengadukan berbagai hal, melantunkan berbagai puja puji dan memanjatkan segala bentuk permohonan kepada Sang Pencipta.
“Aku mandi duluan, men,” ujar Iwan sembari melangkah ke kamar mandi dengan handuk dililitkan di leher.
“Yo’i, lanjut,” hanya itu yang keluar sebagai jawaban dari mulut Dedi yang sedang mencoba menghidupkan tipi di kamar mereka.
Tiba-tiba mata Dedi menemukan sehelai kartu nama yang diletakkan berdekatan dengan remote control tipi, ia pun meraihnya sekalian remote control.
Dedi memperhatikan kartu nama yang berada di tangannya; tertulis nama seorang perempuan bernama Enny, lengkap dengan nomor ponselnya, menawarkan jasa tukang pijat.
“Boleh juga nih tawaran, kebetulan badan sedang pegal-pegal sehabis menempuh perjalanan jauh,” gumam Dedi.
Iwan masih didalam kamar mandi, terdengar desiran air mengalir dari tangkai shower hingga keluar kamar.
Setelah mengecilkan volume tipi, Dedi menelpon wanita yang namanya tertera di kartu nama yang barusan ia temukan.
“Halo,” Dedi mulai bicara setelah telpon tersambung.
“Iya, halo,” sahut seorang wanita bersuara agak berat.
“Apakah saya sedang bicara dengan mbak atau ibu Enny ?” tanya Dedi.
“Benar, panggil saja saya mbak Enny,” jawab wanita itu.
“Saya sedang memerlukan jasa tukang pijat, berapa tarif yang mesti saya bayar ?” tanya Dedi seraya menyebutkan hotel berikut nomor kamar dimana ia sedang menginap.
“Tarif per jam untuk pijat 50 ribu, saya sendiri yang akan kesana, tunggu saja setengah jam kemudian,” jawab mbak Enny.
“Oke, saya setuju, akan saya tunggu,” ujar Dedi kemudian memutus hubungan telpon.
“Bicara dengan siapa, men ?” suara Iwan mengejutkan Dedi dari arah belakang, rupanya Iwan sudah selesai mandi.
“Ah kamu, bikin kaget orang aja. Aku barusan nelpon tukang pijat,” kata Dedi.
“Memangnya kamu ada kenalan tukang pijat disini ?” tanya Iwan.
“Nggak ada sih, tapi aku tadi menemukan kartu nama tukang pijat di dekat tipi,” ungkap Dedi.
“Oh ya, laki atau perempuan tukang pijatnya ?” tanya Iwan lagi.
“Perempuan lah, masa laki, mending kamu yang mijat aku,” ujar Dedi sambil terkekeh.
“Sialan kamu. Kamu nggak mandi dulu, men ?” tanya Iwan sambil menyisir rambutnya.
“Nanti aja sehabis pijat,” sahut Dedi.
Dedi melangkah ke arah jendela kamar yang kebetulan menghadap ke jalan raya. Dan dari jendela ia pun bisa langsung melihat ke halaman hotel, sehingga dapat melihat tamu yang keluar masuk hotel.
Dengan memandang dari jendela, Dedi ingin mengetahui tiap wanita yang akan masuk ke hotel, setidaknya ia punya bayangan bagaimana wanita tukang pijat yang akan melayaninya.
Sedang asyik memandang keluar jendela, terdengar ketukan di pintu.
Dedi memalingkan badannya ke arah pintu, namun begitu ia akan melangkah membukakan pintu, Iwan terlebih dulu yang membukakannya.
“Cari siapa ya ?” tanya Iwan.
“Saya mbak Enny, saya cari yang nelpon saya tadi untuk minta dipijat,” jawab wanita itu.
“Oh ya, silakan masuk,” ujar Iwan sambil membuka pintu lebar dan memberi jalan bagi wanita itu. Sementara itu Dedi berdiri terpana tak jauh dari jendela.
“Silakan duduk, mbak,” Iwan mempersilakan.
“Terima kasih, mas,” sahut mbak Enny sembari duduk di kursi yang membelakangi tipi.
“Ayo sini, jangan bengong aja, nih mbak Enny sudah datang,” cetus Iwan.
Dedi pun perlahan melangkah ke arah mbak Enny kemudian menyalaminya.
“Oke men, selamat berpijat ria, aku keluar dulu cari makan,” kata Iwan keluar sambil menutup pintu.
“Lewat mana tadi, kok nggak ada kelihatan masuk halaman, mbak ?” Dedi membuka percakapan.
“Tadi diantar taksi langsung masuk ke halaman parkir di samping hotel,” sahut mbak Enny.
“Oh, pantas,” kata Dedi.
“Ayo kita mulai sekarang pijatnya,” tawar mbak Enny.
“Sabar dululah, santai saja. Mbak mau minum apa ?” tawar Dedi sambil melangkah ke arah mini bar yang berada di bawah meja yang menyatu dengan tempat tipi.
“Apa sajalah,” sahut mbak Enny.
Dedi membawakan teh kotak untuk mbak Enny.
Dedi memandangi mbak Enny yang sedang menyeruput teh kotak.
Mbak Enny berperawakan agak gemuk, berkulit kecoklatan, berwajah cukup manis. Yang membuat Dedi berdecak kagum dalam hati, payudara mbak Enny yang berukuran super. Dedi memperkirakan usia mbak Enny 40-an tahun.
Merasa dipandangi Dedi, mbak Enny tampak jengah.
“Kenapa kok memandangi terus ?” tanya mbak Enny.
“Eh, oh, nggak kok, nggak apa-apa,” Dedi jadi kikuk.
“Ayo kita mulai sekarang, dilepas pakaiannya,” ujar mbak Enny sambil bangkit dari duduknya, dan mengeluarkan semacam cairan lotion dari tas yang dibawanya untuk keperluan pijat.
“Ayo, siapa takut,” sahut Dedi mencandai mbak Enny.
Dedi sudah berbaring tengkurap diatas kasur dengan cuma mengenakan celana dalam. Mbak Enny pun dengan lincahnya memijat bagian belakang tubuh Dedi.
“Pijatnya mau berapa jam, mas ?” tanya mbak Enny sambil terus memijat.
“Cukup 1 jam aja,” jawab Dedi.
“Apa nggak tanggung, nggak 3 jam sekalian,” tawar mbak Enny.
“Kalau 3 jam kelamaan, mbak,” sahut Dedi.
“Nggak apa-apa biar capek dan pegalnya benar-benar hilang. Atau bisa juga 1 jam dilanjutkan dengan pijat plus,” tawar mbak Enny pula.
“Pijat plus ? Pijat model apa itu ?” tanya Dedi sembari memalingkan kepalanya ke arah mbak Enny.
“Ah mas ini seperti pura-pura nggak tahu,” mbak Enny terkekeh.
“Benar, serius mbak, aku belum tahu pijat plus itu bagaimana,” ujar Dedi dengan wajah blo’on.
“Oh ya. Coba aja, nanti mas tahu bagaimana pijat plus, kalau keseringan malah bisa bikin ketagihan,” ujar mbak Enny senyum menggoda.
“Boleh juga dicoba, tarifnya berapa ?” tanya Dedi penasaran.
“Aku minta short time 300 ribu untuk mas,” kata mbak Enny.
“Wah, kok mahal, mbak,” ujar Dedi.
“Nggak juga, itu tarif perkenalan, biasanya aku minta 350 ribu untuk short time,” balas mbak Enny.
Setelah berpikir sesaat atas tawaran mbak Enny, akhirnya Dedi setuju untuk mendapatkan pelayanan pijat plus.
“Tolong seluruh pakaiannya dilepas semua,” bisik mbak Enny.
Dedi menuruti permintaan mbak Enny. Dan mbak Enny mematikan listrik di kamar hotel itu. Kini kamar cuma diterangi cahaya dari tipi yang terus hidup tanpa ada yang menontonnya. Selanjutnya adegan dua sosok pria dan wanita dewasa yang layak sensor.