Sudah beberapa kali Rahman yang sedang berada di rumah pamannya, mendapat panggilan dari kerabatnya agar segera datang ke rumah calon mertuanya.
Rahman sudah beberapa hari ini menginap di rumah pamannya, menghindari perjodohan yang dilakukan oleh ibunya terhadap seorang gadis bernama Faridah. Antara ibu Rahman dengan ibu Faridah telah lama terjalin hubungan pertemanan akrab sejak mereka berdua masih gadis remaja.
Rahman yang sudah memiliki seorang kekasih, Raihana, tentu saja sangat keberatan atas putusan ibunya tersebut, menjodohkannya dengan gadis lain yang secuil pun ia tak kenal.
“Seperti kisah Siti Nurbaya saja. Masa lelaki juga mesti dijodohkan,” gumam Rahman sambil menerawang jauh keluar jendela kamar di rumah pamannya.
Ayah Rahman tak dapat membelanya, orangtua itu malahan menyerahkan segala keputusan kepada istrinya. “Aku sih terserah ibu saja, yang penting bisa membuat ibu bahagia, dan hubungan ibu dengan keluarga Faridah tetap baik,” ungkap ayah Rahman.
Sikap ayahnya ini membuat Rahman semakin tersudut dan memusnahkan harapannya untuk menolak perjodohan itu.
“Sudahlah Man, turuti saja kemauan ibumu itu. Lagi pula segala sesuatunya dipersiapkan dan diatur oleh keluarga Faridah, calon instrimu itu,” hibur ayahnya membesarkan hati Rahman.
Memang Rahman mendengar dari mulut ibunya; segala sesuatu terkait rencana pernikahan dirinya dan Faridah, dibiayai oleh keluarga Faridah. Bahkan hingga pakaian pengantin pria; celana, jas dan sebagainya sudah dipersiapkan oleh keluarga Faridah, Rahman cuma modal badan dan kesediaan saja.
Tapi bukan itu yang dikehendaki Rahman, nikah gratis dan meriah. Rahman sama sekali tak pernah kenal dengan Faridah, disamping itu ia sudah memiliki kekasih. Betapa merana dan sakit hatinya kekasih yang ditinggalkan nikah, pikir Rahman.
Bathin Rahman dipenuhi pergolakan antara menolak dijodohkan kemudian dinikahkan dengan bhaktinya kepada orangtua, terutama ibunya yang sangat ia sayangi dan hormati.
Beberapa hari ini Rahman tak keruan makan, tidur pun ia sulit.
Pamannya, saudara ayahnya juga tak dapat membantunya. “Semua kembali kepadamu, Rahman. Paman cuma dapat memberikan saran; bhakti kepada orangtua itu paling utama sebagai tanda terima kasih kita yang tak terhingga, tak dapat ditukar oleh apapun. Masalah sayang dan cinta itu, bisa saja dilakukan kemudian setelah menikah,” petuah pamannya.
Dunia rasanya seolah mau runtuh dan menimpa diri Rahman. Tak ada seorang pun yang dapat memberinya jalan keluar terbaik, semua memberinya jalan yang dilematis.
“Ya Allah, berilah hambamu ini petunjuk dan jalan yang menurut Engkau terbaik. Hanya kepada Engkau lah segala urusanku ini keserahkan,” doa Rahman beberapa hari ini tiap usai shalat.
Rupanya Tuhan membimbing hati dan pendirian Rahman untuk berbhakti dan menurut kepada kemauan ibunya.
Akhirnya pada hari yang telah ditetapkan sesuai undangan yang sudah disebarkan, Rahman pun bersanding dengan Faridah. Betapa senang dan bahagianya keluarga Rahman, terutama ibunya. Juga kebahagiaan itu meliputi keluarga Faridah.
“Ini karena bhaktiku kepada ibuku sehingga aku bersedia menikahimu. Dan kuharap kita bisa saling mengerti satu sama lain agar kehidupan rumah tangga ini dapat berjalan dengan baik,” ucap Rahman ke Faridah saat mereka berdua sedang berada di kamar pengantin.
Faridah yang hatinya sedang diliputi kebahagiaan yang tak terhingga hanya manggut saja.
Beberapa minggu kemudian setelah pernikahannya, Rahman memutuskan meninggalkan rumah mertuanya, juga berpisah dari orangtuanya.
Rahman bermaksud mencari penghidupan di kampung orang. Dari seorang temannya, Rahman mendapat kabar adanya sebuah tempat yang sedang berkembang, yang jaraknya ratusan kilometer dari kampung halamannya, namun masih dapat ditempuh dengan mobil.
Pada hari yang sudah ditentukan, Rahman dan Faridah pun meninggalkan kampung halaman mereka, meninggalkan segala kenangan masa remaja, meninggal seorang kekasih yang hatinya hancur berkeping-keping.
Di tempat yang baru, sebuah kota kecamatan yang tengah berkembang pesat pengusahaan di bidang perkayuan, Rahman memulai hidup baru, hidup berumah tangga.
Disini tak seorang pun yang Rahman kenal, apalagi istrinya. Semua serba asing, Rahman mengibaratkan kepindahannya sebagai hijrah.
Dengan modal yang ia peroleh dari orangtuanya, Rahman menyewa rumah dan kios untuk keperluan usaha. Rahman membuka usaha jual beli emas. Karena ia melihat prospek yang bagus di kota yang sedang berkembang itu, apalagi belum ada seorang pun yang membuka usaha ini.
Usaha yang dirintis Rahman makin hari, minggu, bulan, dan tahun, makin berkembang. Rahman sudah mampu membangun rumah dan toko, serta memiliki mobil pula dari hasil usahanya. Dari rahim Faridah pun telah lahir 3 orang putra.
Setiap manusia hidup pasti mendapat tantangan, kendala dan cobaan, tak terkecuali yang menimpa Rahman.
Cobaan datang dari ipar-ipar Rahman, saudara Faridah, yang juga datang dan menetap di tempat kini Rahman berada. Berbagai hal rupanya ditiup-tiupkan oleh saudaranya ke telinga Faridah. Sehingga Faridah yang mulanya penurut terhadap suaminya, kini mulai berani bersuara agak nyaring dan cenderung melawan. Hal ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena ikut campurnya saudara-saudara Faridah dalam kehidupan rumah tangga Rahman.
Kondisi rumah tangga Rahman pun mulai goyah. Usaha Rahman pun terkena imbasnya, lambat laun mulai merugi, dan akhirnya bangkrut.
Kini kehidupan rumah tangga Rahman banyak dibantu oleh ipar-iparnya yang usaha jual beli emas mereka justru tambah maju setelah kebangkrutan Rahman. Sementara itu Rahman bekerja secara serabutan untuk membiayai rumah tangganya dan menyekolahkan anaknya.
Rahman selalu merasa tertekan jika sedang berada di rumahnya. Ada-ada saja tingkah alasan Faridah agar Rahman tetap berada di rumah. Beberapa peluang pekerjaan yang ditawarkan oleh orang lain yang bakal menghasilkan, gagal, gara-gara Rahman dilarang keluar rumah oleh Faridah. Istrinya ini tak mau tahu alasan Rahman untuk dapat keluar rumah. “Tak usah keluar rumah. Kalau untuk belanja saja setiap hari, aku bisa minta dari saudara-saudaraku,” ucap Faridah.
Rahman merasakan dirinya seperti seekor burung disangkar emas.
Kondisi seperti ini dialami Rahman bertahun-tahun. Sudah beberapa kali Rahman akan menceraikan Faridah yang sudah ia anggap sebagai seorang Tiran ini. Namun ketiga anaknya mengancam akan berhenti sekolah jika kedua orangtuanya bercerai. “Kami akan berhenti sekolah bila ayah dan ibu sampai bercerai,” ancam Hilman, anak Rahman tertua.
Kini ketiga anak Rahman itu sudah dewasa. Yang tertua, Hilman telah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum. Arif, anak yang nomor dua, telah lulus dari Fakultas Pertanian. Sedangkan Mahmud, si bungsu, lulus dari Fakultas Komunikasi Massa.
“Tak ada lagi yang dapat menghalangiku untuk bebas dari rumah tangga tirani ini. Tak berlaku lagi ancaman dari anak-anakku, karena mereka semua sudah selesai pendidikan, dan telah dewasa pula,” bathin Rahman.
Beberapa bulan setelah si Bungsu di wisuda oleh Fakultasnya, atas persetujuan ibunya, Rahman resmi bercerai dari Faridah.
Rahman keluar dari rumah yang dibangunnya dari hasil usahanya bertahun-tahun itu, tanpa membawa apapun kecuali beberapa potong pakaian. Rahman kini bebas, sebebas burung merpati yang terbang di angkasa.
(Terinspirasi dari perjalanan hidup seorang teman yang kini menikmati statusnya sebagai Duren alias Duda Keren)
Rahman sudah beberapa hari ini menginap di rumah pamannya, menghindari perjodohan yang dilakukan oleh ibunya terhadap seorang gadis bernama Faridah. Antara ibu Rahman dengan ibu Faridah telah lama terjalin hubungan pertemanan akrab sejak mereka berdua masih gadis remaja.
Rahman yang sudah memiliki seorang kekasih, Raihana, tentu saja sangat keberatan atas putusan ibunya tersebut, menjodohkannya dengan gadis lain yang secuil pun ia tak kenal.
“Seperti kisah Siti Nurbaya saja. Masa lelaki juga mesti dijodohkan,” gumam Rahman sambil menerawang jauh keluar jendela kamar di rumah pamannya.
Ayah Rahman tak dapat membelanya, orangtua itu malahan menyerahkan segala keputusan kepada istrinya. “Aku sih terserah ibu saja, yang penting bisa membuat ibu bahagia, dan hubungan ibu dengan keluarga Faridah tetap baik,” ungkap ayah Rahman.
Sikap ayahnya ini membuat Rahman semakin tersudut dan memusnahkan harapannya untuk menolak perjodohan itu.
“Sudahlah Man, turuti saja kemauan ibumu itu. Lagi pula segala sesuatunya dipersiapkan dan diatur oleh keluarga Faridah, calon instrimu itu,” hibur ayahnya membesarkan hati Rahman.
Memang Rahman mendengar dari mulut ibunya; segala sesuatu terkait rencana pernikahan dirinya dan Faridah, dibiayai oleh keluarga Faridah. Bahkan hingga pakaian pengantin pria; celana, jas dan sebagainya sudah dipersiapkan oleh keluarga Faridah, Rahman cuma modal badan dan kesediaan saja.
Tapi bukan itu yang dikehendaki Rahman, nikah gratis dan meriah. Rahman sama sekali tak pernah kenal dengan Faridah, disamping itu ia sudah memiliki kekasih. Betapa merana dan sakit hatinya kekasih yang ditinggalkan nikah, pikir Rahman.
Bathin Rahman dipenuhi pergolakan antara menolak dijodohkan kemudian dinikahkan dengan bhaktinya kepada orangtua, terutama ibunya yang sangat ia sayangi dan hormati.
Beberapa hari ini Rahman tak keruan makan, tidur pun ia sulit.
Pamannya, saudara ayahnya juga tak dapat membantunya. “Semua kembali kepadamu, Rahman. Paman cuma dapat memberikan saran; bhakti kepada orangtua itu paling utama sebagai tanda terima kasih kita yang tak terhingga, tak dapat ditukar oleh apapun. Masalah sayang dan cinta itu, bisa saja dilakukan kemudian setelah menikah,” petuah pamannya.
Dunia rasanya seolah mau runtuh dan menimpa diri Rahman. Tak ada seorang pun yang dapat memberinya jalan keluar terbaik, semua memberinya jalan yang dilematis.
“Ya Allah, berilah hambamu ini petunjuk dan jalan yang menurut Engkau terbaik. Hanya kepada Engkau lah segala urusanku ini keserahkan,” doa Rahman beberapa hari ini tiap usai shalat.
Rupanya Tuhan membimbing hati dan pendirian Rahman untuk berbhakti dan menurut kepada kemauan ibunya.
Akhirnya pada hari yang telah ditetapkan sesuai undangan yang sudah disebarkan, Rahman pun bersanding dengan Faridah. Betapa senang dan bahagianya keluarga Rahman, terutama ibunya. Juga kebahagiaan itu meliputi keluarga Faridah.
“Ini karena bhaktiku kepada ibuku sehingga aku bersedia menikahimu. Dan kuharap kita bisa saling mengerti satu sama lain agar kehidupan rumah tangga ini dapat berjalan dengan baik,” ucap Rahman ke Faridah saat mereka berdua sedang berada di kamar pengantin.
Faridah yang hatinya sedang diliputi kebahagiaan yang tak terhingga hanya manggut saja.
Beberapa minggu kemudian setelah pernikahannya, Rahman memutuskan meninggalkan rumah mertuanya, juga berpisah dari orangtuanya.
Rahman bermaksud mencari penghidupan di kampung orang. Dari seorang temannya, Rahman mendapat kabar adanya sebuah tempat yang sedang berkembang, yang jaraknya ratusan kilometer dari kampung halamannya, namun masih dapat ditempuh dengan mobil.
Pada hari yang sudah ditentukan, Rahman dan Faridah pun meninggalkan kampung halaman mereka, meninggalkan segala kenangan masa remaja, meninggal seorang kekasih yang hatinya hancur berkeping-keping.
Di tempat yang baru, sebuah kota kecamatan yang tengah berkembang pesat pengusahaan di bidang perkayuan, Rahman memulai hidup baru, hidup berumah tangga.
Disini tak seorang pun yang Rahman kenal, apalagi istrinya. Semua serba asing, Rahman mengibaratkan kepindahannya sebagai hijrah.
Dengan modal yang ia peroleh dari orangtuanya, Rahman menyewa rumah dan kios untuk keperluan usaha. Rahman membuka usaha jual beli emas. Karena ia melihat prospek yang bagus di kota yang sedang berkembang itu, apalagi belum ada seorang pun yang membuka usaha ini.
Usaha yang dirintis Rahman makin hari, minggu, bulan, dan tahun, makin berkembang. Rahman sudah mampu membangun rumah dan toko, serta memiliki mobil pula dari hasil usahanya. Dari rahim Faridah pun telah lahir 3 orang putra.
Setiap manusia hidup pasti mendapat tantangan, kendala dan cobaan, tak terkecuali yang menimpa Rahman.
Cobaan datang dari ipar-ipar Rahman, saudara Faridah, yang juga datang dan menetap di tempat kini Rahman berada. Berbagai hal rupanya ditiup-tiupkan oleh saudaranya ke telinga Faridah. Sehingga Faridah yang mulanya penurut terhadap suaminya, kini mulai berani bersuara agak nyaring dan cenderung melawan. Hal ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena ikut campurnya saudara-saudara Faridah dalam kehidupan rumah tangga Rahman.
Kondisi rumah tangga Rahman pun mulai goyah. Usaha Rahman pun terkena imbasnya, lambat laun mulai merugi, dan akhirnya bangkrut.
Kini kehidupan rumah tangga Rahman banyak dibantu oleh ipar-iparnya yang usaha jual beli emas mereka justru tambah maju setelah kebangkrutan Rahman. Sementara itu Rahman bekerja secara serabutan untuk membiayai rumah tangganya dan menyekolahkan anaknya.
Rahman selalu merasa tertekan jika sedang berada di rumahnya. Ada-ada saja tingkah alasan Faridah agar Rahman tetap berada di rumah. Beberapa peluang pekerjaan yang ditawarkan oleh orang lain yang bakal menghasilkan, gagal, gara-gara Rahman dilarang keluar rumah oleh Faridah. Istrinya ini tak mau tahu alasan Rahman untuk dapat keluar rumah. “Tak usah keluar rumah. Kalau untuk belanja saja setiap hari, aku bisa minta dari saudara-saudaraku,” ucap Faridah.
Rahman merasakan dirinya seperti seekor burung disangkar emas.
Kondisi seperti ini dialami Rahman bertahun-tahun. Sudah beberapa kali Rahman akan menceraikan Faridah yang sudah ia anggap sebagai seorang Tiran ini. Namun ketiga anaknya mengancam akan berhenti sekolah jika kedua orangtuanya bercerai. “Kami akan berhenti sekolah bila ayah dan ibu sampai bercerai,” ancam Hilman, anak Rahman tertua.
Kini ketiga anak Rahman itu sudah dewasa. Yang tertua, Hilman telah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum. Arif, anak yang nomor dua, telah lulus dari Fakultas Pertanian. Sedangkan Mahmud, si bungsu, lulus dari Fakultas Komunikasi Massa.
“Tak ada lagi yang dapat menghalangiku untuk bebas dari rumah tangga tirani ini. Tak berlaku lagi ancaman dari anak-anakku, karena mereka semua sudah selesai pendidikan, dan telah dewasa pula,” bathin Rahman.
Beberapa bulan setelah si Bungsu di wisuda oleh Fakultasnya, atas persetujuan ibunya, Rahman resmi bercerai dari Faridah.
Rahman keluar dari rumah yang dibangunnya dari hasil usahanya bertahun-tahun itu, tanpa membawa apapun kecuali beberapa potong pakaian. Rahman kini bebas, sebebas burung merpati yang terbang di angkasa.
(Terinspirasi dari perjalanan hidup seorang teman yang kini menikmati statusnya sebagai Duren alias Duda Keren)