foto : wikipedia |
Jika mengamati tiap sinetron yang ditayangkan di stasiun-stasiun televisi Indonesia, rasanya sulit menemukan tayangan sinetron yang benar-benar mewakili kondisi rakyat negeri ini secara riil.
Tayangan-tayangan sinetron tersebut kebanyakan mengumbar dan memvisualisaikan kemewahan yang sama sekali tak sesuai dengan kondisi riil sebenarnya rakyat Indonesia.
Pernah ada tayangan sinetron yang menurut saya cukup bagus, yaitu Si Doel Anak Sekolah karya Rano Karno. Namun sinetron itupun nyaris gagal menampilkan kondisi riil masyarakat Betawi secara utuh, karena dalam alur ceritanya masih menghubungkannya dengan kondisi kehidupan warga lain yang glamour diluar setting warga Betawi.
Mungkin yang cukup bagus dan hampir mewakili kondisi masyarakat bawah adalah, sebuah sinetron yang mengambil setting di Pulau Bangka, sinetron mengenai pendidikan disana.
Tayangan-tayangan sinetron Indonesia tak ubahnya film-film Hindustan produk Bolywood. Tentu saja bisa dibandingkan, karena tak jarang yang berada di belakang atau dibalik pembuatan sinetron itu adalah nama-nama Hindustan, seperti Gobind Punjabi, Raam Punjabi, Dhamoo Punjabi, atau Shanker. Keruan saja tayangan sinetron menjadi seperti film-film India dalam versi pendek.
Yang juga dirasa sangat mengganggu adalah, sinetron-sinetron tersebut sangat berpotensi merusak penggunaan bahasa Indonesia. Tayangan yang dikonsumsi dan ditonton jutaan pemirsa itu dengan entengnya merusak bahasa yang baku.
Tapi masalah ini kembali kepada kita semua, apakah kita memang suka terhadap kondisi demikian, mempertontonkan bukan kondisi sebenarnya dari kebanyakan rakyat negeri ini sambil sekaligus merusak bahasa nasional (?)
Tapi masalah ini kembali kepada kita semua, apakah kita memang suka terhadap kondisi demikian, mempertontonkan bukan kondisi sebenarnya dari kebanyakan rakyat negeri ini sambil sekaligus merusak bahasa nasional (?)