Pagi ini sedang sarapan, belum sempat mandi, seorang ibu tetangga, datang bertandang ke rumah. Ibu rumah tangga teman arisan istriku ini datang sambil membawa beberapa helai kertas berikut kartu Jakesmas alias Jaminan Kesehatan Masyarakat. Beberapa helai kertas yang menyertai kartu Jamkesmas tersebut antara lain; beberapa copy KTP, surat pengantar Ketua RT untuk ke Lurah, serta surat resep dokter Puskesmas untuk menebus obat di apotek.
Ibu tetangga itu mengeluh ke kami perihal kondisi ekonomi yang kurang mampu membayar biaya obat yang mesti ditebus di apotek. Ibu mertuanya sudah beberapa hari ini sedang terbaring dan dirawat di sebuah Puskesmas.
Menurutnya, dengan kartu Jamkesmas yang dimiliki ibu mertuanya itu, pihak Puskesmas hanya membebaskan biaya perawatan dan ruang rawat inap, adapun obat-obatan untuk pasien mesti ditebus di apotek milik swasta atas rujukan dan resep dari dokter yang bersangkutan di Puskesmas itu.
“Jika pasien berobat dan dirawat di RSUD milik Pemkab, semuanya gratis,” ujar ibu tetangga kami ini, karena pernah salah seorang sanak keluarganya berobat dan dirawat disana beberapa hari.
Yang ia heran adalah, jika tak tersedia obat-obatan yang diperlukan pasien di Puskesmas. kenapa ibu mertuanya itu tak dirujuk saja ke RSUD milik Pemkab. Dengan demikian ia tentu tidak perlu mesti menebus obat-obatan di apotek yang harganya setiap kali menebus nilainya ratusan ribu rupiah.
Kejadian serupa yang dialami tetangga kami ini sempat dialami oleh para pasien di RSUD milik Pemkab di kabupaten tetangga. Aku ceritakan ke dia, di kabupaten tetangga justru RSUD yang bersikap seperti Puskesmas di kabupaten kami. Dari beberapa pasien pemegang kartu Jamkesmas yang mengeluhkan menebus di apotek, tersirat dugaan yang cenderung menuduh adanya semacam kerjasama antara pihak Puskesmas ataupun RSUD dengan pihak apotek yang nota bene milik swasta ataupun perorangan. Dengan demikian pihak Puskesmas/RSUD selalu berdalih tak memiliki persediaan obat-obatan yang diperlukan bagi para pasien pengguna kartu Jamkesmas. “Jika yang berobat pasien yang berduit, dipastikan obat-obatannya ada tersedia di Puskesmas atau rumah sakit,” ujar para pasien itu jengkel.
Program pelayanan kesehatan gratis di berbagai daerah kini sedang marak selain yang bersifat nasional melalui Jamkesmas yang kemudian beralih ke BPJS Kesehatan sejak Agustus 2013 lalu. Program apapun yang sifatnya gratis, cuma-cuma tanpa bayaran, pasti akan disambut baik oleh tiap orang di negeri ini apalagi kalangan rakyat miskin. Namun jika dalam pelaksanaan program ternyata tak sesuai dengan harapan, disinilah yang menjadikan tiap orang jengkel, marah, dan sebagainya tak terkecuali tudingan maupun tuduhan bahwa program tersebut hanyalah untuk kepentingan politik daripada benar-benar murni untuk kepentingan rakyat.
Dalam hal pelayanan kesehatan gratis ini tampaknya baik pemerintah pusat maupun daerah kebanyakan bertindak setengah hati, tak benar-benar siap memberikan pelayanan memuaskan. Mestinya sebelum program ini diluncurkan untuk dinikmati rakyat, pihak Puskesmas maupun rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta yang ditunjuk sebagai rekanan; melengkapi segala fasilitasnya termasuk obat-obatan. Kalaupun pasien mesti menebus obat di apotek, mesti gratis, yang bayar tetap pemerintah ke pihak apotek yang menjadi rekanan.
Jika pemerintah belum benar-benar siap dengan anggaran berikut konsekuensi yang akan ditimbulkan oleh sebuah program, apalagi terkait yang serba gratis, sebaiknya tak usah membuat program. Alih-alih ingin menyenangkan rakyat malahan membuat rakyat sakit hati dan tak percaya, apalagi jika sebuah program sudah ditunggangi kepentingan politik oleh Parpol yang sedang berkuasa.