Seorang kenalan saya bisa menghabiskan beberapa batang rokok setelah bangun tidur sebelum sarapan pagi. Bangun pagi setelah cuci muka, kenalan saya ini minum segelas air putih, lalu mengisap rokok dengan nikmatnya. Tak jarang sarapan paginya cuma segelas kopi hitam kental manis. Usai mengisap dan menghabiskan beberapa batang rokok, kenalan saya ini lalu mandi. Setelah mandi dan berpakaian, kembali ia mengisap rokok sambil bersiap pergi ke tempat kerja. Saya pikir kenalan saya terkecuali tidur baru mulutnya tak mengebulkan asap rokok. Dan setahu saya kebiasaan kenalan saya sudah bertahun-tahun dan cukup lama ia lakukan. Dia sehat-sehat saja, dia ini berkerja sebagai seorang paramedis yang di kampung saya disebut Mantri Suntik.
Ketika saya berkerja di sebuah perusahaan pertambangan batubara di era 1990-an, diadakan medical check terhadap paru-paru para pekerja. Diantara sekian banyak karyawan, sebagian besar yang dinyatakan paru-parunya tidak sehat adalah para karyawan perokok. Tapi tak sedikit juga diantara karyawan yang perokok, ada yang paru-parunya masih bagus, ini mungkin dikarenakan mereka masih belum tergolong perokok berat. Namun yang mencengangkan adalah terdapat diantaranya yang bukan perokok namun paru-parunya rusak. Mereka ini kebanyakan para karyawan yang berkerja di bagian crushing plant yang setiap saat kemungkinan terhirup ash (debu) batubara yang sangat halus.
Rokok Membunuhmu
Betapapun peringatan terhadap para perokok, tampaknya tak menyurutkan para perokok menghentikan kebiasaannya. Tak sedikit dari para perokok yang berdalih, urusan mati bukan ditentukan oleh berapa sering dan seberapa banyak seseorang mengisap rokok, tapi oleh Tuhan yang memiliki kehidupan.
Saya sendiri dalam sehari rata-rata dalam sehari bisa menghabiskan 2 bungkus rokok yang harga per bungkusnya Rp 15 ribu, yang berarti dalam sehari uang untuk rokok saya sebesar Rp 30 ribu. Jika diratakan sebulan 30 hari, maka uang yang saya habiskan untuk rokok adalah Rp 900 ribu per bulan.
Dan perlu diingat, diantara harga rokok Rp 15 ribu per bungkus yang saya isap tersebut terdapat cukai untuk pemasukan ke kas pemerintah yang per batangnya Rp 375. Besar cukai per batang ini bila dikalikan dengan jumlah batang dalam sebungkus rokok, yakni 16 batang, maka Rp 6 ribu masuk ke kas pemerintah. Karena saya menghabiskan 2 bungkus rokok per hari, maka saya sudah menyumbang Rp 12 ribu per hari. Jika dikalikan jumlah hari dalam satu tahun; 365 x Rp 12.000 = Rp 4.380.000 sumbangan pemasukan yang saya bayar ke kas pemerintah. Bagaimana jika dikalikan dengan jutaan perokok di negeri ini. Maka para perokok termasuk penyumbang terbesar ke kas negara yang pungutannya langsung tanpa mesti dikejar-kejar petugas pajak.
Secara pribadi saya tidak menganjurkan orang untuk mengikuti kebiasaan saya, begitupun kenalan saya yang perokok berat itu sama tak menganjurkannya. Dan kebiasaan apapun bagi seseorang akan berhenti dengan sendirinya menurut kesadaran pribadi, tak mesti ditakut-takuti dengan risiko. Para perokok sama saja halnya dengan para pengguna narkoba, mesti tahu bahaya dan risiko hukumannya, mereka bukan memikirkan itu, tapi merasakan kenikmatan yang diperolehnya. Jadi peringatan Rokok Membunuhmu tak bisa banyak membantu menghentikan para perokok untuk terus mengebulkan asapnya ke udara.
Kebiasaan berbahaya sekalipun bagi pelakunya tak mudah berhenti begitu saja, karena mereka bukan memikirkan risikonya, tapi merasakan hasil kebiasaan yang diperolehnya.