Kisah ini terjadi lebih dari 15 tahun lalu ketika aku bekerja di sebuah perusahaan Hutan Tanaman Industri milik Konglomerat Probosoetedjo, kerabat Pak Harto.
Aku bekerja dan menetap di camp yang telah disediakan oleh perusahaan, dimana mess dan kantor berada dalam satu komplek. Jarak camp tempatku bekerja dan menetap berada didalam hutan yang jaraknya lumayan jauh dari perkampungan penduduk terdekat sekitar 8 kilometer. Jalan akses keluar masuk ke camp melewati hutan tanaman akasia setinggi 2 kali orang dewasa, badan jalan berupa tanah liat merah, turun naik dan berliku.
Hiburan para karyawan selepas bekerja adalah, bermain bola di halaman mess, bila malam bermain karambol, dan nonton tv. Lama kelamaan aku pun bosan dengan hiburan yang monoton itu. Kebosananku ini pun agaknya juga dialami oleh rekanku satu kamar di mess. Hery, temanku satu kampung, ayahnya etnis Banjar, sedangkan ibunya berdarah Menado. Hery merupakan teman akrabku yang memiliki kebiasaan yang sama denganku ; suka begadang dan minuman beralkohol.
Suatu sore usai bekerja aku dan Hery nongkrong di belakang mess sambil merencanakan pergi keluar nanti malam. Untuk keluar camp kami mesti menggunakan alat transport, sedangkan kami tak memilikinya. Akhirnya kami sepakat untuk menggunakan sepeda motor inventaris perusahaan yang biasa digunakan mandor mengawasi pekerja di lapangan. Sepeda motor inventaris tersebut usai digunakan oleh mandor, kuncinya dititipkan di bagian logistik perusahaan. Kebetulan Hery bekerja di bagian tersebut, sehingga dengan mudah ia dapat mengambil kunci kontak sepeda motor.
Usai makan malam, kami pun siap. Aku dan Hery mengendap-endap menuju tempat parkir sepeda motor yang terletak persis di belakang mess kami. Adapun para karyawan lainnya sebagian ada yang kembali ke kamarnya masing-masing, yang lainnya pergi nonton tv di ruang rekreasi.
Aku berjalan duluan keluar komplek sekitar jarak 200 meter, sedangkan Hery di belakangku sambil menuntun sepeda motor yang belum dihidupkan. Setelah kami anggap cukup aman untuk menghidupkan sepeda motor, maka kami pun beraksi.
Malam itu aku dan Hery pergi ke ibukota kecamatan yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari camp. Kami bikin acara minum-minum di sebuah warung kopi tepi jalan hingga setengah mabuk.
Sekitar pukul 03.00 dini hari kami memutuskan pulang ke camp. Aku wanti-wanti Hery agar pelan mengenderai sepeda motor mengingat kondisi kami yang setengah teler.
Sekitar jarak kurang dari 300 meter dari jalan poros beraspal memasuki jalan menuju camp, tiba-tiba sepeda motor yang kami tunggangi berhenti sedangkan mesinnya tetap hidup. “Kenapa berhenti, sih ?” tanyaku ke Hery. “Siapa yang berhenti, tapi sepeda motor ini berhenti sendiri,” sahut Hery. “Jangan-jangan kamu terinjak rem, atau giginya kamu kasih prei,” ujarku. “Nggak tuh. Aku nggak ada nginjak rem,” balas Hery sambil bolak balik memasukkan gigi persneling sepeda motor.
Meski aku setengah mabuk tapi perasaanku mulai tidak enak. Ada perasaan aneh menyelinap di benakku. Aku menoleh ke belakang untuk melihat apakah ada sesuatu yang menahan sepeda motor kami, namun tidak ada.
Aku menyuruh Hery mematikan mesin sepeda motor. Kami pun turun dari sepeda motor. Aku memeriksa ban belakang serta rantai yang kesemuanya tak ada masalah. “Kamu hapal ayat kursi ?” tanyaku ke Hery. “Nggak hapal !” sahutnya.
Dalam kondisi setengah teler dan mulai diliputi rasa takut, aku membaca ayat kursi. Aku tak puas hanya membacanya dalam hati, tapi agak setengah berteriak, kupikir biar jin atau setan yang coba-coba mengganggu kami cepat-cepat pergi.
Aku pun selesai membaca ayat kursi. Dengan penuh keyakinan aku meminta Hery menghidupkan sepeda motor. “Kali ini sepeda motor pasti jalan,” ujarku yakin.
Ketika sepeda motor dihidupkan, lalu gigi persneling dimasukkan, meluncurlah kami dari tempat itu. “Tatap lurus ke depan saja, jangan berpaling ke kanan kiri ataupun ke belakang sebelum kita tiba di camp,” pintaku ke Hery.
Kami tiba di camp menjelang subuh. Hingga pagi kami berdua tidak tidur mengingat kejadian yang telah kami alami.
Kami berdua sepakat akan menanyakan sesuatu terkait kejadian aneh tadi malam kepada rekan-rekan kami yang lebih dulu bekerja di perusahaan. Beberapa dari mereka mengatakan memang daerah sekitar dimana kami terhenti itu angker. “Kami pernah suatu malam sedang mengenderai mobil keluar camp, dari jauh melihat seperti seorang perempuan cantik berambut panjang sedang melambai minta tumpangan, namun ketika telah dekat perempuan itu menghilang,” cerita seorang rekan yang bekerja sebagai sopir perusahaan.
Mendengar cerita tersebut aku dan Hery bukan malah takut, tapi penasaran. “Wah, kalau hantunya cantik pasti kita nggak takut,” sahut Hery bercanda.
Selepas makan siang aku dan Hery berencana akan keluar lagi nanti malam. “Kamu berani keluar lagi ?” tanyaku ke Hery. “Bila kamu berani, aku juga berani,” tantang Hery. “Oke, kita go lagi,” kata Hery.
Di tempat kerjaan aku mulai berpikir apakah benar-benar akan keluar lagi nanti malam. Sebagai manusia, secara naluri sebenarnya aku takut juga kalau-kalau ketemu makhluk yang menakutkan. Tapi keraguan dan ketakutanku dapat dikalahkan oleh perasaan ego, tantangan. Hatiku kecilku berkata, “bukankah bumi ini dikuasakan dan diserahkan kepada manusia sebagai khalifah, sebaik-baik makhluk. Bumi ini hanya hak manusia, bukan hak jin atau setan, atau makhluk lain. Salah besar bila manusia takut terhadap yang namanya hantu, yang tak jelas makhluk macam apa dan wujudnya bagaimana. Bukankah malam itu hanya bergantian waktu dan suasana dari lawan siang yang terang lalu menjadi gelap ?”
“Bila ada hantu yang menghadang perjalanan kita nanti malam, kita akan tanyakan apakah dia ada ijin masuk ke dunia manusia, jika tidak, kita berhak mengusirnya,” kataku ke Hery.
“Betul, itu hantu pasti pendatang haram, nggak punya KTP, mesti diusir,” sambung Hery.
Malamnya kami buktikan. Kami keluar camp lagi menuju ke ibukota kecamatan. Tapi kali ini kami tidak minum-minum dan mabok, cuma ngopi di warung tepi jalan.
Kira-kira lewat tengah malam kami pun balik ke camp. Kali ini sepeda motor kami tak ada yang menghentikan, tapi sengaja kami berhentikan di sekitar tempat angker seperti yang diceritakan beberapa rekan. Kebetulan malam itu cahaya bulan menerangi, langit tampak cerah. Kami masing-masing menyulut rokok. Hery duduk di sadel sepeda motor, sedangkan aku bertengger di pokok batang kayu yang roboh yang terdapat di sekitar situ. “Paling-paling tuh hantu cewek lagi dandan sebelum menemui kita,” ujar Hery guyon.
“Mungkin juga sih, dia ingin ketemu kamu idamannya, hehehe,” gurauku pula.
Cukup lama juga kami berada di tempat itu. Tak ada yang aneh, hanya suara binatang malam yang terdengar, kami pun memutuskan meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan pulang kami merasa senang dan menang dapat mengalahkan rasa takut terhadap hantu yang masih dimiliki kebanyakan manusia di jaman yang sudah canggih ini.
Besoknya, di ruang makan kantin, kami bercerita kepada rekan-rekan kerja yang bareng sarapan pagi. “Ternyata hantu itu tidak ada, yang ada adalah cuma rasa takut,” ujar kami.
“Ya, mana hantunya berani, masa hantu takut hantu,” celutuk seorang rekan sambil tertawa.