SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Memang Begitulah Adanya - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Sabtu, 01 Maret 2014

Memang Begitulah Adanya

Entah mulai dari mana membayangkan pada mulanya, karena begitulah keadaannya kini.

Seorang kenalan saya dulunya adalah seorang anggota dari sebuah lembaga yang mereka namakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kenalan saya ini dulunya sangat getol mengkritisi berbagai masalah yang ia anggap melenceng dari aturan ; baik di pemerintahan maupun berbagai hal di masyarakat. 

Penampilannya dalam sosok dan posisi lain cukup mengagetkan saya. Ia tak lagi sering berteriak mengkritisi berbagai hal, ia tampil menjadi sosok lain yang berbeda sebagai Ketua Pengawas Pemilu (Panwaslu) di daerahku.

Selama menjadi Ketua Panwaslu, suaranya nyaris tak terdengar lagi, mungkin karena kesibukan pekerjaannya.

Namun 5 tahun kemudian selepas dari Panwaslu, suaranya terdengar lagi meski agak sporadis. Ia gencar mengkritisi masalah kerusakan lingkungan hidup baik yang diakibatkan oleh perkebunan maupun pertambangan.

Namun sepak terjangnya itupun tidak terlalu lama, hingga saya mendengar ia kini bekerja di sebuah perusahaan besar di bidang pertambangan batubara, PT. Arutmin Indonesia di daerahku. Posisinya di perusahaan yang sahamnya dipegang oleh Bumi Resources (Bakrie Group) itu lumayan bagus, bagian pengawasan lapangan. Kenalanku inilah yang melakukan pengawasan terhadap tiap jengkal konsesi PKP2B (Perjanjian Kontrak Penambangan Batubara) milik PT. Arutmin Indonesia di daerahku terhadap penambangan yang dilakukan pihak lain dengan jalan melakukan pencurian lokasi, di daerahku dikenal dengan istilah tambang spanyol alias separo nyolong.

Setelah beberapa bulan kemudian saya justru terkaget-kaget. Seorang teman saya cerita mengenai kenalan saya yang sudah kaya raya ; punya mobil baru yang lumayan mewah, beli dan membangun beberapa rumah. Saya pun berpikir betapa besar bayaran gaji yang diterima kenalan saya itu di perusahaan tambang batubara itu.

Namun saya belum sempat memikirkannya lebih jauh. Beberapa pengusaha di bidang pertambangan yang saya kenal cerita, mereka melakukan penambangan gaya spanyolan di beberapa bagian dari konsesi PKP2B milik PT. Arutmin Indonesia yang bertetangga dengan beberapa pemegang Ijin Kuasa Pertambangan (kini namanya Ijin Usaha Pertambangan, IUP). Kenapa para pengusaha pertambangan itu merambah konsesi milik PT. Arutmin Indonesia ? Ada beberapa hal yang menjadikannya begitu ; lahan berpotensi menyimpan banyak deposit batubara sebagian besar telah diplot dan dikuasai oleh PT. Arutmin Indonesia sejak puluhan tahun lalu, sedangkan lahan yang dikuasai para pemegang KP sudah sangat tipis depositnya, dan kemudian posisi lahan antara PKP2B dengan KP saling bersisian.

Modus perambahan atau tambang ala spanyolan itu adalah, para penambang meminta semacam SPK (Surat Perintah Kerja) dari pemegang KP yang lokasinya bersisian dengan PKP2B milik PT. Arutmin Indonesia. Dengan demikian maka menjadikan mereka leluasa melakukan aktivitas. Kegiatan dilakukan pada malam hari, di siang hari mereka akan mengembalikan peralatan berat (excavator, bulldozer) kembali ke lahan pemilik KP.

Oknum di lapangan PT. Arutmin Indonesia di daerahku bukan tidak tahu praktik demikian. Justru inilah celah dan jalan untuk ikut menikmati hasil dari kegiatan tambang ala spanyolan tersebut. Sekali-sekali PT. Arutmin Indonesia melaporkan perihal perambahan di wilayah konsesinya kepada pihak Kepolisian setempat. Pihak berwenang pun bergerak, beberapa alat berat kemudian ditangkap dan diamankan, namun sering kali pelakunya tak ada, malah operator alat berat yang dikorbankan sebagai kambing hitam.

Tampaknya operasi penertiban yang demikian memang disengaja seolah antara pihak perusahaan dengan kepolisian setempat masih bekerja sesuai kewenangannya.

Padahal usut punya usut, informasi dari pihak penambang mengungkapkan aktivitas tambang spanyolan mereka itu dibayar dengan cukup mahal kepada beberapa oknum baik dari PT. Arutmin Indonesia maupun oknum di kepolisian. Mereka menyisihkan bayaran untuk itu dalam hitungan tiap metrik ton dari hasil produksinya. Tak kurang dari Rp. 100 ribu per metrik ton yang disisihkan untuk menyuap oknum-oknum yang dapat membuat para penambang bisa berhenti bekerja dan dituduh sebagai pelaku praktik illegal mining itu.

Tak cukup rupanya sampai disitu, beberapa oknum berpangkat perwira pun mengambil kesempatan menikmati ramainya tambang ala spanyolan itu dengan ikut melakukan penambangan, tentunya dengan memakai orang lain yang dipercaya, sedangkan si oknum cukup berada di belakang layar. 
Tulisan saya ini boleh-boleh saja dianggap tidak benar, tapi silakan buktikan sendiri ke lapangan, dan karena memang begitulah keadaannya kini. (Tanah Bumbu, 11 Pebruari 2011)