courtesy : hacker error |
THR, yang secara harfiah merupakan akronim dari Tunjangan Hari Raya. Tapi beda pengertiannya di kalangan wartawan di daerahku. Maksud dari kata THR sesungguhnya adalah sama seperti “angpao” yang berkonotasi miring; bagi-bagi rejeki dari penghasilan yang kurang lazim yang menyerempet aturan dan hukum.
Berburu “THR” ini tampaknya tak hanya dilakukan oleh para wartawan kenalanku, tapi juga oleh para oknum anggota polisi, tentara, maupun PNS yang instansinya punya kewenangan di sektor-sektor vital. Tujuan mencari THR tersebut adalah ke para pengusaha yang dianggap kegiatan usahanya kurang bersih.
Kalau para oknum abdi negara dan masyarakat itu sasaran mencari THR-nya ke para pengusaha, sedangkan para wartawan ke setiap mereka yang dianggap kegiatan usahanya kurang bersih dan kurang beres, maupun ke para oknum pejabat yang sama juga kurang bersih dan kurang beres-nya dengan para pengusaha tersebut.
“Biasanya pertengahan bulan puasa ini kita sudah lumayan hasilnya dapat THR. Tapi tahun ini sepertinya kita mesti lebih jeli dan kerja keras untuk bisa dapat hasil lumayan,” ungkap beberapa wartawan kenalanku sambil menyebut beberapa pengusaha dan pejabat daerah.
“Lho, bukankah pemberian THR itu menjadi kewajiban dari perusahaan penerbitan yang mengelola media ?” tanyaku.
“Ah, sampeyan ini seperti pura-pura tak mengerti saja kondisi di negeri ini. Siapa makan siapa supaya dapat hidup layak,” ujar mereka.
Lagi pula masih menurut para wartawan kenalanku itu, alih-alih mereka memperoleh yang namanya THR dari perusahaan tempat mereka berkerja, justru malah mereka yang diminta mencarikan sumber pemasukan bagi para petinggi di perusahaan media itu, agar mereka juga menjadi lega dalam menghadapi lebaran.
Bila demikian kondisinya, maka siklus rantai makanannya adalah; pengusaha dan pejabat yang tak beres dimakan oleh wartawan - wartawan pun dimakan oleh para atasannya. Ironis dan tragis memang kondisi di negeri ini.