Melihat iklan premiere bioskop Indonesia di salah satu stasiun televisi, saya jadi teringat keberadaan bioskop di kampung saya, dulu puluhan tahun silam.
Di kampung saya dulu, sebuah kota kabupaten, semasa masih anak-anak, terdapat 3 bioskop. 2 diantara bioskop itu berbentuk bangunan besar layaknya bioskop di kota beaar pada umumnya. Sedangkan 1 bioskop lainnya berupa lokasi yang dipagar tanpa atap, dilengkapi tempat duduk yang terbuat dari bangku kayu yang ditanam kedalam tanah tanpa sandaran; untuk pembeli tiket yang lebih mahal alias kelas 1. Sedangkan pembeli tiket yang lebih murah, atau penonton kelas 2, duduk diatas tanah beralaskan; tikar atau karpet yang dibawa sendiri dari rumah, kardus, maupun kertas koran. Bioskop seperti ini para penontonnya sangat berharap cuaca cerah di malam hari. Karena bila terjadi hujan, maka semua penonton akan bubar. Gerimis saja mereka akan bubar, sehingga ada yang menyebutnya bioskop Misbar; Gerimis Bubar.
Dari ketiga bioskop yang terdapat di kampung saya itu, sebut saja Bioskop A; setiap hari memutar film-film Indonesia, Bollywood (India), dan film Cina Ngamuk alias film action Mandarin. Bioskop B setiap harinya memutar film-film Barat baik yang bertema drama maupun action. Nah, Bioskop Misbar kebagian memutar film-film sisa yang telah diputar kedua bioskop tersebut.
Selepas lulus SMA pada pertengahan 1980-an, saya berkerja jauh dari kampung tapi masih satu wilayah; sebuah desa di kecamatan.
Di tempat tinggal baru saya ini, terdapat 1 bioskop yang mulanya sejenis Misbar. Seiring bertambah banyak para pendatang yang menetap sebagai pekerja di puluhan perusahaan penggergajian kayu, bioskop Misbar itu pun berubah menjadi gedung yang beratap.
Disini bioskop memutar film pada tiap malam Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu. Pada tiap malam Senin dan Jumat; bioskop istirahat memutar film. Sedangkan pada malam Minggu akan diputar 2 film, tak seperti malam biasanya yang cuma memutar 1 film.
Seiring waktu berjalan, perusahaan kayu semakin banyak yang tutup dan berhenti karena kekurangan bahan baku, disamping kemajuan di bidang komunikasi massa terutama pertelevisian dan video, pengunjung bioskop semakin menyusut. Warga yang cukup berada lebih memilih membeli peralatan video, atau antena parabola untuk menangkap siaran televisi dari banyak dan berbagai saluran (channel).
Sebelum akhirnya tutup, bioskop itu sempat mengurangi frekuensi pemutaran film; dari 5 malam dalam seminggu menjadi 2 malam seminggu, sekali seminggu, hingga akhirnya tutup total.
Kini bekas gedung bioskop itu berubah fungsi menjadi bangunan sarang burung walet.
Seingat saya, sejak hadirnya stasiun televesi swasta pertama; RCTI, bioskop di tempat saya sudah kena imbasnya, mulai kekurangan pengunjung. Semakin bertambahnya stasiun televisi swasta di Indonesia, akhirnya membunuh bioskop tersebut untuk selamanya. Jadi, bioskop di tempat saya sudah lama mati, pun bioskop yang berada di kota kabupaten sama ikut mati berinkarnasi jadi bangunan untuk usaha lainnya; sarang burung walet, kafe, rumah bilyard, maupun toko.