SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
[Masih] Perlukah Hukuman Fisik Bagi Anak Didik? - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Selasa, 25 Maret 2014

[Masih] Perlukah Hukuman Fisik Bagi Anak Didik?

Karena tak seorang pun dari 25 murid dalam kelas 3 SMP yang tak bisa menjawab pertanyaan satu soal matematika, seluruh murid di ruang kelas itu; dijemur di terik matahari sambil menghormat bendera selama sekitar 1 jam.

Itu yang pernah kualami bersama teman-teman sekelas di SMP di sebuah kota Kabupaten pada awal tahun 1980-an.
Berkat hukuman itu kami semua bergiat mempelajari matematika dengan sungguh-sungguh.


Masih kuingat saat masih duduk di SD, waktu itu di sebuah sekolah di pedalaman pulau Kalimantan; tak ada seorang murid pun yang berani dengan para guru, apalagi terhadap seorang guru, sebut saja pak Abdul. Beliau ini tak segan-segan memberikan hukuman fisik kepada murid yang bandel, atau dikurung didalam kakus sekolah (kami belum kenal istilah WC waktu itu)
Murid yang sudah diberi peringatan beberapa kali agar mencukur rambutnya yang gondrong, akan dicukur sembarang oleh pak Abdul. Begitupun jika kuku tangan tampak panjang, penggaris (mistar) terbuat dari kayu yang cukup tebal, akan mampir di jari-jari, tak jarang membuat jari bengkak usai kena pukul.
Pernah pula beberapa murid yang tak masuk belajar karena main bola, semua mendapat hukuman dari pak Abdul; betis mereka dipukul dengan penggaris kayu itu sampai diantaranya ada yang bengkak.



Hukuman paling ringan dari pak Abdul adalah; berdiri di depan kelas sambil mengangkat satu kaki jika tak bisa menjawab pertanyaan soal pelajaran. Itu dulu, kondisi antara anak didik dengan pendidiknya beberapa dekade lalu.

Seorang temanku waktu SMA yang bandel dan sering bolos masuk kelas, akan senang jika mendapat skorsing tak boleh masuk dalam beberapa hari. Ia senang karena bisa tak masuk sekolah, bebas jalan-jalan dan main. “Kalau cuma skorsing begitu, tak apa-apa, asal jangan kena hukuman fisik,” ungkapnya.

Aku bukan pendidik, jelas bukan ahli masalah pendidikan, tapi aku pernah mendapat didikan di sekolah. Yang namanya negative reward terhadap anak didik itu perlu, beitupun positive reward.
Melihat kondisi pendidikan di negeri ini kini, tampaknya negative reward berupa hukuman fisik masih perlu, namun bentuknya jangan terlalu ekstrem, misalkan saja dijemur di terik matahari beberapa saat, disuruh membersihkan WC, lingkungan sekolah, sampah, dan lainnya. Karena jika hukuman non fisik saja, anak didik akan menjadi manja. Hukuman yang mengandung shock therapy perlu diberikan terhadap anak didik agar mereka menjadi seseorang yang bertanggung jawab.


Para orangtua yang anaknya memperoleh hukuman dari guru ataupun pihak sekolah, tak perlu serta merta mengamuk. Bukankah pendidikan itu tak cuma tanggung jawab pihak sekolah, tapi juga orangtua dan lingkungan ?
Jika anak didik sedang berada di lingkungan sekolah, maka ini menjadi tanggung jawab pihak sekolah. Hak sekolah dan para gurunya untuk memberikan hukuman terhadap anak didik yang melanggar aturan.


Pihak pemerhati pendidikan juga jangan selalu memojokkan pihak sekolah yang menghukum anak didiknya, apalagi sampai harus membenturkannya dengan UU Perlindungan Anak segala. Selama pihak sekolah dan para gurunya memberikan hukuman fisik seperti contoh yang kusebutkan diatas, masih pada batas kewajaran.
Kita semua pasti tak menginginkan anak-anak kita gagal menjadi manusia yang tidak saja cerdas tapi juga berakhlak, bermoral dan santun.


Sebagai orangtua, waktu kita terbatas dalam mendidik anak-anak kita. Sebagian besar waktu kita habiskan untuk mencari nafkah. Nah, pihak sekolah yang memiliki waktu lebih banyak mendidik anak-anak kita. Maka serahkan saja segala sesuatunya dengan pihak sekolah dengan berbagai aturannya. Tak perlu meradang cuma karena anak kita dapat hukuman dari gurunya bila itu akan bisa membuatnya lebih baik.

Akhirnya aku jadi merindukan sosok guru seperti pak Abdul, atau guru kami yang pernah menjemur kami di terik matahari. Aku kasihan melihat para guru sekarang yang kebanyakan tak memiliki wibawa di mata anak didiknya, apalagi anak didiknya itu merupakan anak dari orang kaya, pejabatn dan masyarakat terpandang.