Seorang pengusaha di bidang pertambangan yang sudah lama aku kenal, mengomel di depanku dan 2 orang wartawan yang ada disitu. “Ini gara-gara pemberitaan media sehingga kami tak bisa kerja. Baru saja beberapa lama belajar jadi ‘maling’ sudah dirazia,” sungutnya.
Seorang wartawan tampaknya terkena sungutan pengusaha tersebut, “saya memberitakan pernyataan Kapolres yang sok bersih tak terlibat dalam kegiatan penambangan batubara ilegal itu,” tangkisnya.
“Ya, tapi kan yang terkena dampaknya adalah usaha saya. Lihat tuh para pekerja kami yang bakal nganggur. Apa kamu bisa kasih makan sebanyak 80-an orang ?” sembur pengusaha itu tampak kesal sambil menunjuk ke arah beberapa orang karyawannya yang sedang nongkrong di depan mess.
Aku tak enak hati mendengar omelan pengusaha yang dikenal royal terhadap kalangan Pers itu. “Sudahlah, ini pelajaran bagi yang lain, yang selama ini menganggap profesi Wartawan sepele,” ujarku.
Aku tak bisa ikut menyalahkan tindakan Wartawan yang telah memberitakan kegiatan penambangan batubara secara ilegal di wilayah konsesi salah satu pemegang PKP2B (Perjanjian Kontrak Penambangan Batubara), dimana melibatkan banyak pihak yang mengais keuntungan dari kegiatan penambangan ala “spanyol” alias separo nyolong.
Beberapa waktu lalu puluhan penambang dengan dalih menambang menggunakan SPK (Surat Perintah Kerja) dari beberapa pemegang IUP (Ijin Usaha Pertambangan) di wilayah yang berdempetan dengan konsesi PKP2B. Beberapa Wartawan kenalanku datang bertandang ke rumahku, minta pendapat dan saranku bagaimana mesti mengambil tindakan menyikapi kegiatan penambangan tersebut. “Para oknum petinggi Polres pada ikut bermain disana. Mereka mendapatkan “jatah” antara Rp. 30 ribu hingga Rp. 40 ribu per metrik ton dari kegiatan ilegal tersebut,” ungkap para Wartawan itu.
“Selain itu beberapa oknum polisi malah ikut menambang dan menjadi penyuplai BBM, yang tahu sendirilah BBM yang berasal dari hasil langsiran (beli dalam jumlah bannyak) dari SPBU,” tambah Wartawan lainnya.
Para Wartawan yang dekat denganku semua mengeluh dengan sikap cuek sebagian pengusaha tambang ilegal itu, kemudian ditambah dengan sikap apatis para oknum polisi yang seolah tak tahu menahu terhadap kegiatan tersebut. Bukan Cuma itu, para oknum di pihak pemilik PKP2B juga sama apatisnya, bahkan berdalih bahwa mereka bersama pihak kepolisian terus menertibkan kegiatan yang merambah konsesi PKP2B tersebut. “Kami selalu mengontrol dan mengawasi wilayah konsesi dimaksud yang diduga diserobot pihak lain,” ujar salah seorang oknum dari pihak pemegang PKP2B.
Para pemegang IUP yang memberi SPK pun tak mau kalah berdalihnya. “Wah, saya tidak tahu apakah mereka menambang diluar titik koordinat sesuai perjanjian di SPK, itu bukan urusan kami, bila mereka melanggar maka terima risikonya,” dalih salah seorang pemegang IUP. Atau, “saya sedang diluar kota, saya sedang berobat di rumah sakit, saya tak bisa melayani anda,” kata salah seorang pemegang IUP lainnya di ujung telpon.
Meski tak dipungkiri ada beberapa orang pengusaha yang menaruh perhatian, mau bersahabat dengan para Wartawan, namun oleh rekan-rekan dianggap tak seimbang dengan puluhan lainnya yang tak tahu menahu dan apatis. Keinginan para Wartawan itu adalah seluruh pengusaha tambang itu kompak dan tanggung renteng bila berhadapan dengan pihak Pers.
“Para pengusaha itu memberi uang ratusan ribu rupiah ke Wartawan sudah merasa kebanyakan, seolah kena rampok saja. Tapi begitu giliran memberi para oknum kepolisian dalam jumlah jutaan akan biasa-biasa saja,” keluh seorang Wartawan lainnya.
Saya pikir itu cuma masalah alokasi dan distribusi rejeki saja yang tak berimbang. Tak dapat dipungkiri selama ini para oknum kepolisian yang menggunakan pangkat dan jabatannya untuk mempertebal isi kocek pribadi, menjadi kecemburuan banyak pihak, tak terkecuali kalangan Pers. Adapun di internal para pelaku jurnalistik, jargon yang selama ini didengungkan ; wartawan dilarang menerima pemberian terkait tugas peliputan, cuma tinggal jargon kosong oleh kebanyakan pelaku jurnalistik. Bayaran atau gaji seorang Wartawan terlalu kecil bila dibandingkan dengan tugas yang disandangnya, bahkan tak sedikit dari mereka yang tak dibayar atau digaji oleh perusahaan media, dibekali kartu pers dan surat tugas, dilepas dengan berbagai kewajiban yang mengikat. Nah bila sudah demikian, maka untuk hidup layak dan agak sedikit lega, pelaku jurnalistik mesti pandai-pandai mencari penghasilan dengan “power” yang dimilikinya ; bila tak berani memeras, maka bolehlah meremas saja asal dapat menghasilkan. Senjata para pelaku jurnalis tentu pemberitaan yang dampaknya dapat meluas ; menimbulkan reaksi publik. Dalam bahasa sarkasme-nya adalah, bila anda tak kooperatif, kami akan beritakan sampai sedetil-detilnya, tapi bila anda cukup kooperatif, kami akan pura-pura tak tahu, nah lho !