![]() |
foto : radiogwp.com |
Hampir dekat sebuah tikungan menuju jalan tembus arah kedalam kota, sebuah mobil berplat dinas melaju cukup kencang di jalan yang sempit itu sambil menyemburkan lumpur yang terlanda bannya. Seorang pengendara sepeda motor yang dilewatinya pun terkena semburan lumpur, pakaiannya jadi kotor. Sementara itu seorang pengendara lainnya yang berada sekitar 15 meter di depanku, hampir saja terserempat oleh mobil dinas tersebut kalau saja tak cepat menepi yang hampir menyentuh tepi selokan.
Pengendara sepeda motor yang pakaiannya tersembur lumpur oleh mobil itu berhenti di tepi jalan, mengeluarkan sumpah serapah, “bajingan, dasar tak tahu adat, memangnya ini jalan leluhurnya !”
Sementara itu pengendara lainnya yang hampir nyelonong ke selokan, tak kalah kesalnya, “mentang-mentang mobil dinas, seenaknya saja bawa mobil. Memangnya mobil itu dibeli dari uang bapaknya !”
Aku hanya bisa menghela nafas panjang melihat mobil dinas yang tetap melaju tersebut dengan tatapan heran.
Ya, heran. Aku tak habis pikir entah ada keperluan apa pejabat didalam mobil dinas itu sehingga mesti menyuruh sopirnya melaju. Atau jika pejabat itu sendiri yang menyetir, habis dari mana sehingga malam-malam masih juga keliaran dengan mobil dinas yang nota bene dibeli dari kocek rakyat itu. Semestinya dia malu menggunakan fasilitas tersebut bila bukan sedang menjalankan tugas sebagai abdi rakyat. Atau, seandainya yang membawa mobil itu cuma sopir si pejabat, jangan-jangan ia sedang kesal terhadap majikannya yang tak memperhatikan kesejahteraannya (?)
Bermacam perkiraan menari di benakku terkait mobil dinas yang melaju cukup kencang tadi tanpa memperhatikan kepentingan para pengguna jalan lainnya. Mungkin karena merasa mobil dinas itu lebih berhak dan bebas menggunakan jalan daripada milik masyarakat (?) Sebetulnya aku pun sangat kesal menyaksikan ulah orang yang berada didalam mobil dinas itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar singkat & padat.
Tak bernuansa SARA.
Tak membully.