Waktu itu kami diterima Wakil Komisi VII DPR RI, Sony Keraf, yang mengungkapkan dengan adanya kegiatan pertambangan di wilayah Kalsel, menyebabkan terjadinya bencana alam terutama banjir. Ia katakan sebaiknya pertambangan di wilayah Kalsel di-moratorium.
Mendengar ini saya berserta rekan-rekan tentu saja meradang. Kami pikir enak saja main moratotium, yang mana warga di beberapa daerah di Kalsel sudah begitu akrab dengan kegiatan pertambangan dan mendapatkan serta menikmati hasil dari adanya kegiatan tersebut.
Kalaulah mengenai adanya banjir yang tak jarang melanda beberapa wilayah di Kalsel terutama di daerah yang memiliki kegiatan pertambangan, tentu hal yang lumrah sebagai sebuah konsekuensi logis. Kami pikir Jakarta yang tak ada kegiatan pertambangan batubara saja, hingga kini selalu kesulitan dalam mencegah dan menanggulangi banjir. Dalihnya banjir di Jakarta itu kiriman dari Bogor. Namun secara logika awam saja, kalaulah di Jakarta dilanda banjir, tentu di Bogor lebih banjir daripada di Jakarta.
courtesy : sinarharapan |
Kami katakan ke Wakil Komisi VII DPR RI pada waktu itu, jika ingin moratorium di bidang pertambangan, silakan asalkan moratorium itu berlaku untuk seluruh Indonesia, bukan cuma untuk wilayah Kalsel. Moratorium juga diberlakukan untuk wilayah Papua dimana terdapat tambang milik PT. Freeport Mc Moran.
Tak ada hasil apapun yang kami peroleh dari pembicaraan (tepatnya curhat) dengan Wakil Komisi VII pada waktu itu, cuma debat kusir.
Ternyata apa yang diungkapkan oleh Sony Keraf terkait moratorium pertambangan itu, ada benarnya setelah sekian tahun kemudian.
Adanya kegiatan pertambangan di daerah hanya memperkaya para pelaku usaha, tidak menyejahterakan warga setempat. Apalagi dengan keberadaan praktik kegiatan penambangan ilegal yang dibekingi para oknum aparat penegak hukum, membuat aktivitas ilegal itu sulit dihilangkan. Operasi penertiban yang kerap dilakukan, cuma untuk menaikkan posisi tawar menawar antara para pelaku penambang ilegal dengan oknum aparat penegakan hukum.
Selain itu sistem pembagian hasil dari royalty pertambangan yang diterapkan oleh Negara, jauh dari rasa keadilan sebagaimana bunyi Sila V dari Pancasila. Daerah penghasil mineral tambang sangat sedikit sekali mendapatkan pembagian hasil, sementara berbagai dampak lingkungan yang diakibatkannya, menjadi risiko yang harus diterima oleh warga daerah setempat.
Inilah yang saya ketahui dari pembagian hasil eksploitasi pertambangan yang diterapkan oleh Negara; dari 100 persen batubara yang dieksploitasi; Pihak penggarap yang dalam hal ini pemegang konsesi PKP2B (Perjanjian Kontrak Pertambangan Batubara) atau pemegang IUP OP (Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi) memperoleh pembagian sebesar 86,5 persen. Kemudian dari pembagian 13,5 persen; Pemerintah Pusat memperoleh 80 persen, Pemerintah Daerah mendapat 20 persen. Itupun dari 20 persen masih dipotong oleh Pemerintah Pusat sebesar 8 persen untuk Program Pengambangan Pertambangan Nasional, jadi secara riil Pemerintah Daerah hanya memperoleh pembagian sebesar 12 persen, yang mana akan dibagi antara Daerah Penghasil dengan Daerah Bukan Penghasil dalam wilayah Propinsi. Bayangkan berapa yang diterima oleh Daerah Penghasil, sangat sedikit sekali.
Daerah penghasil pertambangan umum seperti batubara, memperoleh pembagian yang bak pembagian seekor ayam; diambil duluan paha dan dadanya, baru sisanya dibagi oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah.
Jika menilik pembagian tersebut, Daerah Penghasil akan dapat menyejahterakan warganya bila eksploitasi tambang dilakukan oleh Perusahaan Daerah secara modal sendiri, atau dengan sistem kemitraan dengan pemilik modal. Namun kenyataannya Perusahaan Daerah tak berdaya dalam hal ini. Kegiatan eksploitasi tambang dominan dilakukan oleh para pemilik modal alias perusahaan swasta. Di daerah saya, di Kabupaten Tanah Bumbu, dari beberapa Perusahaan Daerah (Perusda) yang dibentuk oleh Pemkab setempat, tak ada satupun yang bergerak dalam bidang eksploitasi pertambangan, yang artinya kurang lebih Pemerintah Daerah memberi peluang besar kepada pebisnis bidang pertambangan batubara untuk memperkaya diri dengan membiarkan potensi alam yang besar itu sangat sedikit dinikmati oleh warganya.
Jadi, moratorium di bidang pertambangan saya kira sangat perlu dilakukan untuk mengatur kembali masalah kegiatan pertambangan yang lebih menguntung daerah dan warganya.