SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Banjir, Siapa Biang Keroknya ? - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Jumat, 14 Juni 2019

Banjir, Siapa Biang Keroknya ?

-Tambang Dianggap Biang Kerok banjir.

Banjir melanda wilayah Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru dalam 2 pekan terakhir. Ratusan warga pun mengungsi ke tempat yang dianggap aman.
Di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu setidaknya terdapat 7 kecamatan yang warganya terdampak banjir, sedangkan di wilayah Kabupaten Kotabaru warga yang terdampak banjir justru yang berada di daratan Pulau Laut yang mana pulaunya dikelilingi oleh lautan.

Di daratan Pulau Laut Kotabaru dimana terletak ibukota kabupaten, juga terjadi tanah longsor serta jebolnya penahan Embung (waduk) yang berada di Desa Tirawan. Seorang teman justru heran terhadap kondisi banjir di wilayah daratan Pulau Laut ini.

"Pulau Laut itu geografisnya dikelilingi oleh laut, yang mana limpahan air bisa langsung menuju ke laut. Pasti ada yang salah dengan penataan pemukiman disana," ungkap seorang teman.

Karena seringnya kawasan ibukota Kabupaten Kotabaru terendam air oleh sebab hujan yang turun terus menerus beberapa hari, tak sedikit warga yang mengaitkannya dengan rencana eksploitasi pertambangan batubara di daratan pulau tersebut.

"Rencana eksploitasi tambang di daratan Pulau Laut ini harus kita cegah, karena dengan kondisi sekarang ini saja Kotabaru sering direndam air dan banjir apalagi dieksplotasi lagi untuk pertambangan batubara," ungkap beberapa warga yang sempat ikut unjukrasa menolak rencana eksploitasi pertambangan di Pulau Laut oleh beberapa perusahaan yang sudah mengantongi perijinan.

Seperti halnya di Kotabaru, tak sedikit warga Tanah Bumbu juga yang mengaitkan terjadinya banjir dengan adanya eksploitasi pertambangan yang hingga kini terdapat belasan perusahaan kalau tak ingin dikatakan masih puluhan.
Memang harus diakui secara jujur beberapa kecamatan di Tanah Bumbu menjadi lokasi pertambangan batubara sudah sejak era tahun 1980-an yang diawali dengan adanya PT Arutmin Indonesia di wilayah Kecamatan Satui dan Kecamatan Batulicin yang kala itu masih bergabung dengan Kabupaten Kotabaru.

Puluhan bahkan mungkin ratusan pelaku penambangan menjadi booming di penghujung 1990-an menjelang pergantian milenium. Istilah tambang batubara 'Spanyol' alias Sparo Nyolong sudah tak asing dan sering diucapkan oleh warga untuk mengidentifikasi aktivitas penambangan ilegal alias illegal mining.

Meski tak dipungkiri adanya kegiatan pertambangan baik legal maupun ilegal telah memberikan kontribusi bagi warga secara langsung atau tidak langsung, juga berkontribusi bagi pendapatan asli daerah yang dananya digunakan untuk melaksanakan pembangunan di berbagai sektor.
Warga yang secara langsung ikut menikmati hasil dari kegiatan pertambangan batubara tentu saja yang ikut menjadi pekerja di berbagai perusahaan pertambangan. Sedangkan yang secara tak langsung adalah antara lain seperti pemasok BBM, persewaan armada angkut, pengusaha katering, para pedagang di pasar, tempat hiburan, rumah kos-kosan hingga usaha kecil seperti warung makan dan minum.

Tak sedikit orang merindukan masa-masa ramainya kegiatan pertambangan yang menghidupkan roda perekonomian saat itu, sehingga ada saja yang berkata, "sekarang jadi sepi berusaha apapun karena tambang pun sepi."
Tak pelak lagi kondisi pasar rakyat yang dulunya ramai dengan para pembeli jadi merosot tajam. Rumah makan, restoran, hotel, losmen, kafe, hingga warung minuman yang dulu menjamur dan menjadi tongkrongan banyak orang saat bersantai, kini pun sudah tak seramai dulu.

-Reklamasi Yang Tak Tampak.

Jika membicarakan terkait pertambangan maka tak terlepas dari kata 'reklamasi' yang tak jarang disalah artikan menjadi sama dengan kata 'reboisasi'.
Reklamasi selalu menjadi pertanyaan yang terkait dengan kondisi pasca tambang, dimana lahan bekas pertambangan yang dianggap sudah tak menghasilkan (feasible) harus dikembalikan seperti semula atau setidaknya mendekati, atau menjadikannya produktif dan bermanfaat. Tak sama dengan reboisasi yang terkait dengan pasca kegiatan penebangan hutan, yang mana penanaman pohon dilakukan sebagai pengganti yang ditebang agar hutan tak kehilangan resapan air yang dapat menyebabkan erosi.

"Kenapa banyak bekas tambang dibiarkan menganga menjadi danau-danau raksasa ? atau "Kemana dana jaminan reklamasi ?
Itu pertanyaan standar yang sering keluar dari mulut siapa saja apalagi pada saat kondisi banjir melanda.
Pertanyaan tersebut tentu saja mengarah ke Pemerintah yang dalam hal ini Dinas Pertambangan maupun kementerian ESDM yang jika ada jawabannya pun akan bias dan ambigu sebagai dalih agar tak terlalu disalahkan. 

"Siapa sebenarnya yang pantas dipersalahkan terkait reklamasi ini ?" 
Jawabannya tergantung siapa yang melakukan aktivitas penambangan. Jika yang menambang itu adalah mereka yang melakukannya secara ilegal, maka yang pantas dipersalahkan adalah Pemerintah yang dengan aturan dan perangkatnya menjadi tak berdaya melakukan pencegahan terhadap pencurian sumber daya alam.
Kalau yang melakukan penambangan adalah yang memiliki perijinan alias legal antara Pemegang Kontrak Karya, PKP2B (Perjanjian Kontrak Pertambangan Batubara) ataupun Ijin Usaha Pertambangan (IUP yang dulu bernama Kuasa Pertambangan/KP), juga masih harus pilih-pilih jawaban yang tepat. 

Untuk itu kita pilah dulu, para Pemegang IUP sebelum melakukan eksploitasi diwajibkan menyetor yang namanya Jaminan Reklamasi untuk pasca tambang, yang mana jaminan tersebut nanti akan dikembalikan ke Penambang jika akan melakukan reklamasi, namun jika Penambang tak melakukan reklamasi maka jaminan tersebut akan digunakan oleh Pemerintah untuk menunjuk pihak lain untuk melakukan reklamasi, jadi sebenarnya tak ada sejengkal pun lahan yang tak direklamasi jika aturan tersebut dilaksanakan.

Sedangkan untuk pemegang PKP2B silakan Anda pertanyakan ke pihak Kementerian ESDM terkait kewajiban reklamasi pasca tambang ini, disini Saya hanya mengetahui apa yang pernah Saya ketahui saja.

-Pembalakan Liar, Penebangan Liar atau Illegal Logging.

Kegiatan ini meski tak segencar beberapa dekade ke belakang namun tetap masih ada. Pembalakan liar dengan menebangi pohon tak hanya dilakukan oleh pemodal besar dengan peralatan canggih tapi juga oleh warga biasa yang hasilnya mereka jual ke kilang-kilang pengolahan kayu (sawmill), atau hanya sekedar untuk keperluan sendiri, atau pembukaan lahan pertanian dan perkebunan.

Jika kita bicara terkait penebangan dan pembabatan hutan, maka kita perlu flash back ke masa-masa jayanya para Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seperti PT Kodeco (Korean Development Company), PT Sumber Polo Timber (Sumpol), PT Valgoson, PT Pamukan Jaya, PT Alam Unda, PT Hendratna, PT Djajanti dan lainnya ditambah juga puluhan Pemegang IPKH (Ijin Pemanfaatan Kayu Hutan).

Dan flash back kita pun tetap ke masa-masa para perusahaan di atas masih eksis; meski setiap hari penebangan dilakukan di hutan sana namun yang namanya banjir besar tak terjadi masa itu, dan inilah yang membedakannya dengan adanya kegiatan pertambangan. Meskipun mungkin pernah terjadi banjir di masa itu namun tak sesering sekarang, dan tak terekspos secara luas karena terbatasnya media pemberitaan dan penyiaran.

Yang jelas terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara logging (perkayuan) dengan mining (pertambangan). Perkayuan membabat pohon-pohon yang dianggap layak untuk diproduksi menjadi kayu olahan (sawn timber) dan menyisakan pohon-pohon berdiameter kecil dan bibit-bibit pohon yang baru tumbuh. Sedangkan pertambangan membabat semua yang terdapat di atas area yang akan dibuka untuk tambang (open pit) termasuk seluruh pohon dan bibit-bibitnya, lalu menggalinya untuk mengeluarkan bahan mineral dari dalam perut bumi yang kedalamannya bisa mencapai puluhan, ratusan meter bahkan kilometer seperti yang dilakukan PT Freeport Mc Moran di Papua sana.

Nah, silakan Anda menyimpulkan sendiri sajian yang sudah Saya tulis ini, apa dan siapa sebenarnya penyebab banjir di daerah ini. (ISP)