SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Pers Nasional dan Wartawan “Nyambi” Proyek - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Rabu, 02 April 2014

Pers Nasional dan Wartawan “Nyambi” Proyek


Terlepas dari pro dan kontra terkait tanggal 9 Pebruari yang dijadikan momen peringatan Hari Pers Nasional, yang perlu jadi perhatian dan didalami adalah; apakah para jurnalis atau wartawan di negeri ini sudah benar-benar berkerja sesuai tugas dan fungsinya, ataukah menjadi seorang jurnalis atau wartawan hanya sebagai profesi sampingan dan batu loncatan untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Sebagai seorang yang hidup dari aktivitas jurnalistik, saya sangat prihatin dengan kehidupan pers di negeri ini. Mungkin saja saya salah jika cuma mengamati satu atau dua daerah saja terkait nafas kehidupan pers di negeri ini, karena belum bisa dikatakan mewakili secara nasional, namun saya yakin masalah ini terdapat di banyak daerah.
Jurnalistik tampaknya belum sepenuhnya dijadikan sebagai profesi atau pekerjaan utama oleh para pelakunya. Kenapa demikian ?
Tak sedikit yang jadi jurnalis atau wartawan namun menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan maupun batu loncatan.


Ini yang saya ketahui di daerah saya, entah di daerah Anda. Dari lebih 30-an wartawan yang bertugas di daerah kabupaten dimana saya berada; nyaris separuhnya merangkap sebagai kontraktor yang meminta dan mengerjakan proyek milik Pemerintah Daerah. Dan maaf, sebagian besar dari mereka adalah yang menyandang status sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Yang lain bukan tak ada yang mendapat proyek dari Pemda, tapi tak semudah apabila ia menyandang status sebagai anggota PWI.

Tak setiap wartawan digaji.

Jika Anda berpikir semua jurnalis atau wartawan itu digaji oleh perusahaan atau badan usaha tempatnya berkerja, Anda salah besar.
Tak sedikit dari para pelaku jurnalistik di negeri ini yang tak dibayar dan digaji. Kenapa bisa terjadi ?
Tak sedikit dari badan usaha maupun perusahaan penerbitan pers yang beranggapan para pelaku jurnalistik cukup dibekali ID Card berupa Kartu Pers (Press Card); sudah bisa hidup dan menghasilkan uang sendiri tanpa harus digaji lagi. Bahkan mereka ini masih dibebani berbagai kewajiban lain seperti mencari iklan dan menebus koran tiap edisi. Anda tak percaya ? Luangkan waktu Anda untuk investigasi, tanyakan kepada para wartawan koran mingguan ataupun tabloid.


Kondisi seperti di atas merupakan sisi gelap di dunia pers yang tidak setiap orang umum mengetahuinya. Pelaku jurnalistik yang tak digaji kebanyakan menyembunyikan permasalahan ini dari keingintahuan orang lain. Mereka suad pasti malu mengakui jika tak digaji.

Kalau para pelaku jurnalistik tak digaji, dari mana penghasilan mereka ?
Ini pertanyaan yang sangat menohok langsung ke jantung.
Meski tak sedikit dari mereka tak digaji, mereka tetap punya penghasilan dengan mengandalkan Kartu Sakti, istilah untuk Kartu Identitas Jurnalis atau Wartawan.
Dengan memiliki kartu tersebut, para pelaku jurnalistik bisa melakukan apa saja yang dapat menghasilkan duit; melakukan praktik premanisme jurnalistik. Dengan Kartu Sakti tersebut mereka bisa menodong siapa saja yang dianggap memiliki kesalahan untuk memenuhi keinginan mereka dengan ancaman akan diberitakan.


Bila Anda anggap para pelaku jurnalistik yang demikian itu berkerja pada media yang jarang terbit, Anda salah. Tak sedikit dari mereka berkerja di media yang eksis, terbit rutin secara berkala. Namun memang tak dipungkiri jika kebanyakan para pelaku jurnalistik yang tak digaji itu berkerja untuk media yang sesuka hati terbit dikarenakan keterbatasan modal. Inilah produk dari dibukanya kran kebebasan pers yang mana tiap orang dengan melalui badan usaha dapat mendirikan perusahaan pers tanpa perlu Surat Ijin Terbit.

Pers nasional hari ini di era reformasi dan keterbukaan; sedang digerogoti virus dan tumor yang merusak. Meski demikian tiap orang yang memandang dari luar menampak sehat. Pers nasional dengan komponennya berbagai wahana nedia informasi dan konfirmasi dan ujung tombaknya para pelaku jurnalistik; adalah pers yang dinodai oleh berbagai kepentingan para pemilik modal dan media dengan sedikit mengakomodir kepentingan publik. Apriori terhadap pers nasional yang benar-benar independen masih pantas dilintarkan oleh siapapun, karena belum dapat dikatakan memenuhi keinginan publik.


Batulicin Tanah Bumbu Kalsel, 9 Pebruari 2014