"Siapa yang akan kita pilih sementara kita kenal saja tidak dengan mereka, yang datang hanya saat memerlukan ?"
Kalimat di atas adalah pertanyaan standar yang sering diajukan oleh warga, para calon pemilih yang akan memilih Capres dan Cawapres, Anggota DPR RI, Anggota DPD, Anggota DPRD Propinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota pada di tiap menjelang Pemilu.
Anggapan calon pemilih terhadap para calon pejabat publik itu masih saja berkisar seputar setelah terpilih namun tak acuh kepada yang memilih alias cuek.
Ini anggapan dan pandangan pesimis dan apriori yang hanya berdasar pada prakiraan belaka.
Ini anggapan dan pandangan pesimis dan apriori yang hanya berdasar pada prakiraan belaka.
Tak kita pungkiri memang anggapan seperti itu ada benarnya namun pasti tak semua calon bisa digeneralisasi demikian, dan pasti ada yang baik bahkan terbaik diantara semua calon.
Kenapa setelah terpilih ada diantara mereka yang cuek bahkan tak mau tahu akan kondisi dan nasib para pemilihnya ? Ada sebab pasti ada akibat, ada aksi pasti ada pula reaksi.
Tak dipungkiri akan jadi apapun di negeri pasti urusannya tak jauh dari isi kocek.
Tak dipungkiri akan jadi apapun di negeri pasti urusannya tak jauh dari isi kocek.
Jangankan calon Presiden, calon Ketua RT saja perlu merogoh isi kocek untuk kontestasi.
Menguras isi kocek ratusan juta hingga milyaran rupiah untuk bisa duduk menjadi pejabat publik; bukan rahasia lagi baik di ajang Pemilu, Pilkada hingga Pilkades. Dan moment inilah yang paling ditunggu banyak orang, karena pada moment inilah kesempatan untuk mendapat yang serba gratisan; kaos, kalender, stiker, kerudung, sajadah, kopiah, jam, pulpen, pemantik api hingga gantungan kunci bahkan sekaligus dengan duitnya.
Nah, semua yang serba gratisan dari para calon itu dibeli dengan duit yang tak sedikit; boleh jadi duitnya dari hasil tabungan bertahun-tahun, hasil menjual ataupun menggadaikan barang dan harta yang paling disayang, hasil dari pinjaman ke teman, sahabat, tetangga bahkan mungkin bank dan rentenir. Bayangkan betapa mereka rela mengorbankan apa saja untuk satu tujuan dipilih dan terpilih.
Tak ada hidangan makan minum enak yang gratis.
Ini mungkin istilah saya saja untuk menggambarkan dampak daribsemua yang telah diterima gratis itu; akan ada harga atau nilai yang wajib dibayar setelahnya.
Ini mungkin istilah saya saja untuk menggambarkan dampak daribsemua yang telah diterima gratis itu; akan ada harga atau nilai yang wajib dibayar setelahnya.
Mereka yang telah mengorbankan apa saja yang membuatnya mencapai tujuan, akan memulai perhitungan sejak jam pertama, hari pertama saat mereka mulai menduduki tempat tujuan yang telah dicapai. Perhitungan balik modal atau break event point akan dimulai.
Kalau mereka yang telah terpilih itu kelak tak peduli, bukan mereka tak peduli sepenuhnya, mereka tetap peduli tapi kepedulian mereka jauh lebih kecil daripada kepedulian untuk balik modal. Ini berbeda jika mendapat kedudukan seperti memperoleh rejeki nomplok (wind fall) tentu kepedulian mereka tak terbebani oleh apapun.
Maka pikirkanlah dari saat ini untuk menjadi pemilih berdaulat dan cerdas, tak pedulikan sarapan pagi yang sedikit namun memikirkan bakal mendapatkan hidangan satu meja penuh di restoran mahal ternama.
Kalau para calon pejabat publik berinvestasi dengan bermodal apa saja untuk bisa dipilih dan terpilih, maka para calon pemilih pun harus berlaku sama; berinvestasi dengan tidak menerima yang sedikit untuk dapat yang besar bilamana perlu ikut memberi modal ke para calon pejabat publik.