Karena kuatir terhadap kios-kios warga lokal yang bakal terkena dampaknya, selaku seorang Jurnalis pun tergelitik untuk mencuatkan permasalahan itu ke ranah publik dengan menurunkan pemberitaan melalui media digital yang kami kelola, tentunya dengan mengkonfirmasi berbagai pihak diantaranya Pemkab dan DPRD setempat. Alhasil Pemkab kemudian mengeluarkan kebijakan dengan membatasi jumlah outlet di seluruh Tanah Bumbu hanya 20 outlet.
Waktu berjalan beberapa bulan kemudian masuk lagi pemain baru yang juga punya nama. Pemain baru ini agaknya sudah berhitung tak bakal bisa masuk kalau tak mendapatkan semacam mitra yang dapat memfasilitasinya, mereka menggandeng Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dengan beberapa klausul diantaranya akan memperkerjakan warga lokal dan akan memasarkan produk home industry warga lokal, maka kran pembatasan jumlah outlet pun terbuka, sehingga berdirilah banyak minimarket ke 2 merk terkenal itu saling bersaing diantara kios-kios lokal yang tetap hidup.
Pemkab melalui Bupati agaknya mengerti kekuatiran para pemilik kios warga lokal, maka dikeluarkanlah Surat Edaran terkait larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai atau kresek untuk semua minimarket. Kebijakan tersebut pun berdampak banyak para pembeli yang beralih berbelanja ke kios-kios milik warga lokal yang masih menyediakan tas kresek, terutama mereka yang malas membawa tas sendiri. Langkah ini setidaknya pro pada usaha masyarakat kecil, asalkan pelarangan terkait tas kresek itu tak diberlakukan terhadap kios-kios milik warga lokal. Bila diberlakukan ke semua penjual dan pedagang, maka sama saja memberikan peluang lebar bagi tumbuhnya pedagang besar milik para kapitalis. (ISP)