Hampir saja gelas berisi separuh teh hangat yang ada di depanku aku lemparkan ke arah Maman, andai saja Rahim temanku yang lain tak keburu menangkap lenganku.
“Sabar, sabar, sabar Kim,” cegah Rahim sambil terus memegangi lenganku.
“Jaga mulutmu yang beracun itu !” Sengitku ke Maman sambil menunjuk mukanya dengan tangan kiriku.
Untuk menghindari cekcok antara aku dengan Maman, Rahim meminta Maman agar pergi duluan meninggalkan warung teh tempat biasa kami mangkal. Maman pun menuruti permintaan Rahim. “Nanti aku yang bayar minuman dan makan kamu,” ucap Rahim.
Pemilik warung, Bu Aina yang tak sempat tahu percekcokan kami, menjadi heran. Karena saat aku dan Maman cekcok ia sedang ke belakang. “Lho kenapa si Maman pulang duluan, biasanya kan bareng ?” Tanya Bu Aina dengan muka bingung.
“Dia lagi ada urusan mendadak, Bu,” sahut Rahim.
Siang itu menjelang shalat dhuhur, Aku, Rahim dan Maman mangkal di warung Bu Aina yang berada di tepi jalan raya. Kami sudah biasa mangkal disana. Selain pemandangannya yang ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor, warung itu juga bersih, dan Bu Aina, janda satu anak itu ramah, selain juga masih terlihat cantik.
Tak jarang kami menggoda Bu Aina yang anak perempuannya masih duduk di kelas 3 SD. “Saya mau aja jadi ayah tirinya Jamilah,” godaku sambil bergurau suatu kali ke Bu Aina.
Wajah Bu Aina tampak merona merah seperti udang rebus mendengar gurauanku.
“Ah si Hakim ini bisa aja,” balas Bu Aina sambil berusaha membuang dan menyembunyikan wajahnya yang merona.
Perihal percekcokanku dengan Maman, bermula ketika kami cerita melantur tentang keturunan Rasul Muhammad.
Maman yang rupanya sangat yakin dan mengagungkan mereka yang mengaku keturunan Rasul Muhammad, tak terima dengan argumenku yang menolak keberadaan Habib atau Habaib sebagai keturunan Rasul.
“Kamu tak menghormati para Ahlul Bait,” kecam Maman.
“Ahlul Bait palsu, yang cuma ngaku-ngaku itu,” balasku.
Sementara itu Rahim asyik main game di HP-nya. Ia rupanya tak tertarik dengan topik pembicaraanku dan Maman.
“Darimana kamu bisa mengatakan mereka itu palsu dan ngaku-ngaku ?” Serang Maman.
“Aku mau tanya kamu, Rasul itu ada punya anak laki-laki, nggak ?” Tanyaku balik tak mau kalah.
“Nggak tahu, yang aku tahu Beliau memiliki Fatimah yang diperistri Ali Ibn Abu Thalib. Karena Beliau tak memiliki keturunan dari anak laki-laki, maka Fatimah lah dianggap menurunkan pewaris Rasul,” kata Maman dengan suara agak melemah dan nada kurang yakin.
“Argumen ngaco ! Kalau nggak ngerti sejarah nggak usah sok tahu,” semburku sinis.
Aku pun menceritakan sedikit hal yang kuketahui mengenai anak-anak Rasul Muhammad, yang mana Beliau sempat memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibrahim. Namun putra Rasul ini meninggal di masa anak-anak. Yang hidup hingga dewasa dan menikah adalah putri-putri Beliau, yang paling terkenal yaitu Fatimah Azzahra yang dinikahi oleh sahabat sekaligus sepupu sekali Rasul, Ali Ibn Thalib. Sedangkan 2 orang putri Rasul lainnya dinikahi oleh sahabat Utsman Ibn Affan.
“Kalaupun ada yang hidup dan kemudian beranak pinak dari hasil pernikahan antara Fatimah dan Ali, itu keturunan Ali, bukan keturunan Rasul,” uraiku merasa diatas angin.
Maman tetap tak mau tahu terhadap argumen yang ku kemukakan.
“Bukan, bukan begitu. Meski Fatimah seorang perempuan, tapi dia lah yang sangat disayang dan dikasihi Rasul daripada anak-anak Beliau yang lain, sehingga Fatimah dianggap sebagai anak lelaki Rasul,” ungkap Maman tak mau kalah.
“Siapa yang menganggap Fatimah itu sebagai pengganti anak lelaki Rasul ? Kamu ? Para pengikut Syi’ah ?” Tangkisku geregetan.
Semenjak percekcokanku dengan Maman di warung Bu Aina itu, aku berusaha menghindari Maman. Aku muak bila ingat kata-katanya yang mengkafirkan aku. Bila kuingat itu rasanya mau kubunuh saja si Maman itu, kutebas lehernya, lalu kupancang kepalanya di perempatan jalan saat tengah malam. “Dasar Syi’ah !” Gerutuku dalam hati yang kutujukan ke Maman.
Aku tak habis pikir dan heran terhadap Maman yang bisa-bisanya terpengaruh oleh pandangan yang sekarang dianutnya. Padahal seingatku Maman yang dulu kukenal sama seperti aku yang tak mudah terpengaruh oleh omongan siapapun tanpa dasar dan argumen yang jelas. “Sudahlah, manusia itu setiap saat bisa saja berubah, hari ini Maman, siapa tahu besok malah aku yang berubah,” hiburku dalam hati.
Perlakuan seperti yang kuterima dari Maman adalah yang kesekian kalinya. Sebelumnya sempat pula aku ditegur oleh seseorang yang mengaku sebagai keturunan Ahlul Bait, karena aku dianggap tak hormat, tak mencium tangannya saat kami ketemu di sebuah tausiyah yang digelar oleh pengelola mesjid dekat rumahku. Ketika itu si keturunan “Ahlul Bait” bertindak sebagai penceramah. Dalam ceramahnya ia mengatakan barangsiapa yang tak menghormati apalagi sampai menyakiti para keturunan Ahlul Bait, maka sama halnya dengan tak menghormati dan menyakiti Rasul.
Sebenarnya aku muak mendengar isi ceramahnya itu, namun karena ingin mengetahui seluruh isi ceramahnya, kutahan juga agar tak beranjak hingga acara usai.
Saat acara usai itulah para hadirin berhamburan menyerbu si penceramah yang berbusana gamis dengan sorban besar di kepalanya. Mereka ada yang memeluk dan cipika cipiki, tak sedikit yang mencium tangan si penceramah bolak balik. Akan halnya aku, aku cuma bersalaman biasa. Aku pikir tangan kotor ibu bapakku lebih pantas terlebih dulu kucium daripada tangan siapapun.
Bila ingat si penceramah yang bertampang Timur Tengah itu, aku jadi teringat seorang kenalanku. Aku biasa menyapa dengan panggilan Ami. Perihal panggilan Ami ini aku cuma ikut-ikutan orang lain yang kudengar memanggil dengan sapaan itu.
Si Ami yang juga bertampang Timur Tengah ini sering ketemu aku nongkrong di sebuah warung kopi di pasar induk.
Si Ami ini pun tak beda dengan si penceramah yang pernah aku temui di mesjid dekat rumahku tempo hari. Bedanya si Ami ini berceramah sambil minum minuman beralkohol. Si Ami sangat lancar bicaranya jika sudah kerasukan alkohol. Pembicaraannya apa lagi kalau bukan mengenai pengakuannya yang memiliki derajat lebih tinggi daripada mereka yang bukan keturunan Rasul. Bila si Ami sudah bicara begitu, aku buru-buru mohon pamit ke tempat lain. Aku pikir orang ini ngakunya derajat tinggi, tapi apa yang diomongkan dan dikerjakannya justru menurunkan derajatnya ke tingkat paling bawah.