Tiap kali aku melewati depan bangunan gereja Katholik itu, selalu terbersit rasa iri dalam hati.
Melihat bangunan gereja yang besar dan megah dengan halaman yang cukup luas, membuatku membandingkannya dengan beberapa mesjid yang ada di kota kecil kami.
Kota kami sebuah kota kabupaten, berpenduduk belasan ribu jiwa; mayoritas warga memeluk Islam, sedangkan umat agama lain hanya beberapa persen dari jumlah keseluruhan warganya.
Menurut seorang kenalanku yang merupakan penganut Katholik, ia dan umat sesama Katholik di kota kami berjumlah sekitar 1.500-an.
Hanya dengan jumlah sebegitu kecil dibandingkan umat Islam, mereka sanggup mendirikan dan membangun sebuah gereja megah yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 4 milyar, hebat, atau kalau mengambil istilah Mario Teguh adalah; super sekali.
Masih menurut kenalanku itu, biaya untuk membangun gereja mereka itu dananya disokong oleh beberapa pengusaha bidang pertambangan; seorang pengusaha keturunan merogoh koceknya sebesar Rp 2 milyar, kemudian ditambah dana dari kocek seorang anggota jemaat, pengusaha tambang keturunan etnis Dayak, ia merogoh sebesar Rp 1 milyar dari koceknya. Selebihnya dana berasal dari para anggota jemaat lainnya, mereka urunan.
Yang membuat aku iri sebetulnya tidak saja ketika melihat bangunan gereja yang besar dan megah itu, tapi juga iri terhadap kepedulian sosial para anggota jemaat gereja tersebut yang dengan mudahnya merogoh kocek mereka cukup dalam untuk keperluan keagamaan.
Ini sangat berbeda yang kulihat dan kucermati terhadap tingkat kepedulian umat Islam di kota kami. Padahal para pengusaha tambang di kota kami lebih banyak yang beragama Islam maupun yang mengaku Islam. Mereka kaya-kaya daripada para pengusaha dari umat non Muslim. Namun sangat ironis, mereka membiarkan saja untuk membangun sebuah mesjid, surau atau mushala, warga atau umat Islam dengan meminta sumbangan di tepi bahkan di tengah jalan.
Beberapa pengusaha Muslim di kota kami dengan nyaman dan gagahnya naik mobil mahal; Hummer, Jeep Rubicorn, Lexus, Cygnus, minimal Toyota Fortuner, maupun Mitsubishi Pajero Sport, bahkan ada beberapa diantaranya yang membeli helikopter. Tapi aku belum pernah dengar bisik-bisik orang tentang mereka ini yang merogoh koceknya milyaran rupiah untuk menyokong pembangunan tempat ibadah.
Aku pun jadi teringat slogan salah satu Ormas Keagamaan di negeri ini, “Silakan memakmurkan mesjid, tapi jangan mencari kemakmuran di mesjid.”
Menurutku jangan sampai slogan tersebut justru dilaksanakan oleh umat Non Muslim, yang mana bunyinya berubah menjadi, “Silakan memakmurkan gereja, tapi jangan mencari kemakmuran di gereja.”
Dan hingga saat ini aku belum pernah menemukan ada umat Non Muslim yang berkeliling door to door meminta sumbangan untuk membangun tempat ibadah mereka. Tapi ini di kotaku, di kota kami, entah di kota anda dan mereka.
Melihat bangunan gereja yang besar dan megah dengan halaman yang cukup luas, membuatku membandingkannya dengan beberapa mesjid yang ada di kota kecil kami.
Kota kami sebuah kota kabupaten, berpenduduk belasan ribu jiwa; mayoritas warga memeluk Islam, sedangkan umat agama lain hanya beberapa persen dari jumlah keseluruhan warganya.
Menurut seorang kenalanku yang merupakan penganut Katholik, ia dan umat sesama Katholik di kota kami berjumlah sekitar 1.500-an.
Hanya dengan jumlah sebegitu kecil dibandingkan umat Islam, mereka sanggup mendirikan dan membangun sebuah gereja megah yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 4 milyar, hebat, atau kalau mengambil istilah Mario Teguh adalah; super sekali.
Masih menurut kenalanku itu, biaya untuk membangun gereja mereka itu dananya disokong oleh beberapa pengusaha bidang pertambangan; seorang pengusaha keturunan merogoh koceknya sebesar Rp 2 milyar, kemudian ditambah dana dari kocek seorang anggota jemaat, pengusaha tambang keturunan etnis Dayak, ia merogoh sebesar Rp 1 milyar dari koceknya. Selebihnya dana berasal dari para anggota jemaat lainnya, mereka urunan.
Yang membuat aku iri sebetulnya tidak saja ketika melihat bangunan gereja yang besar dan megah itu, tapi juga iri terhadap kepedulian sosial para anggota jemaat gereja tersebut yang dengan mudahnya merogoh kocek mereka cukup dalam untuk keperluan keagamaan.
Ini sangat berbeda yang kulihat dan kucermati terhadap tingkat kepedulian umat Islam di kota kami. Padahal para pengusaha tambang di kota kami lebih banyak yang beragama Islam maupun yang mengaku Islam. Mereka kaya-kaya daripada para pengusaha dari umat non Muslim. Namun sangat ironis, mereka membiarkan saja untuk membangun sebuah mesjid, surau atau mushala, warga atau umat Islam dengan meminta sumbangan di tepi bahkan di tengah jalan.
Beberapa pengusaha Muslim di kota kami dengan nyaman dan gagahnya naik mobil mahal; Hummer, Jeep Rubicorn, Lexus, Cygnus, minimal Toyota Fortuner, maupun Mitsubishi Pajero Sport, bahkan ada beberapa diantaranya yang membeli helikopter. Tapi aku belum pernah dengar bisik-bisik orang tentang mereka ini yang merogoh koceknya milyaran rupiah untuk menyokong pembangunan tempat ibadah.
Aku pun jadi teringat slogan salah satu Ormas Keagamaan di negeri ini, “Silakan memakmurkan mesjid, tapi jangan mencari kemakmuran di mesjid.”
Menurutku jangan sampai slogan tersebut justru dilaksanakan oleh umat Non Muslim, yang mana bunyinya berubah menjadi, “Silakan memakmurkan gereja, tapi jangan mencari kemakmuran di gereja.”
Dan hingga saat ini aku belum pernah menemukan ada umat Non Muslim yang berkeliling door to door meminta sumbangan untuk membangun tempat ibadah mereka. Tapi ini di kotaku, di kota kami, entah di kota anda dan mereka.