“Berdasarkan bukti dan beberapa saksi, Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti bersalah, secara berencana telah menghilangkan nyawa orang lain. Untuk itu Terdakwa kami putus dengan hukuman selama 15 tahun penjara dipotong selama dalam tahanan, dan biaya biaya persidangan ditanggung oleh negara. Adapun yang meringankan Terdakwa adalah sopan selama persidangan, dan menyesali perbuatannya,” demikian putusan Majelis Hakim yang menyidangkan Johan, pembantai tetangganya.
Murni yang mendengar langsung dan ikut menghadiri persidangan dan putusan Hakim tersebut, hampir saja pingsan di kursi yang didudukinya bila saja tubuhnya tak segera dipangku Warni, sahabatnya.
Usai putusan sidang yang memvonis dirinya 15 tahun penjara, Johan dengan dikawal 2 anggota polisi, berjalan ke arah Murni.
“Sudah kau dengar sendiri hukuman yang bakal kusandang,” ucap Johan dengan suara lirih. Murni yang mendengar cuma bisa menatap iba.
Hanya itu yang diucapkan Johan sebelum berlalu dari ruang sidang.
Murni yang masih shock, digandeng oleh Warni keluar ruang sidang hingga menaiki becak.
Dalam perjalanan ke pelabuhan, didalam becak, Murni membayangkan betapa lama penantiannya untuk bisa berkumpul kembali dengan Johan.
Meski ia hampir 5 bulan lalu kenal dengan Johan, perasaan Murni seakan mereka sudah bertahun-tahun lalu bertemu, kemudian mereka mengikat janji cinta.
Watak Johan yang keras dan temperamen, serta pendendam, membuatnya kini meringkuk di penjara. Murni sama sekali tak mengetahui dendam Johan terhadap tetangga yang dibunuhnya itu, karena Johan sangat tertutup masalah pribadinya.
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, nanti kamu sakit. Pikirkan saja kedua putrimu yang sedang beranjak dewasa,” hibur Warni ketika mereka telah berada didalam speedboat yang mulai meninggalkan pelabuhan kota dimana penjara yang mengurung Joihan berada.
Murni hanya memejamkan matanya mendengar penghiburan Warni. Seluruh pikirannya sedang ia curahkan kepada kondisi Johan. Ia tidak sedang memikirkan kedua putrinya yang sedang tumbuh mekar.
“Tolong kirimi aku pulsa, dan kalau bisa besok kirimi aku uang untuk pembeli rokok,” bunyi SMS Johan dari dalam penjara.
Johan sempat menuliskan nomor ponsel Murni dibalik bajunya sebelum mendekam di penjara. “Abang dapat HP dari mana bisa kirim SMS ?” tanya Murni.
“Aku pinjam punya teman satu kamar,” balas Johan.
“Oh…….., besok aku usahakan, Bang,” Murni membalas.
Murni tak ingin menghitung sudah minggu keberapa ia mengirim Johan uang, dan bakal terus mengirimi uang. Ini ia lakukan sejak Johan masih berstatus tahanan polisi, kini sudah berada di penjara. Hanya saja ini minggu pertama Johan di penjara, atau lebih tepatnya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Selama ini Murni mengirimi Johan sedikitnya setengah juta rupiah tiap minggunya. Ini ia lakukan sebagai bukti kesungguhan cintanya kepada Johan.
Murni memeriksa isi dompetnya, ia hitung jumlah uangnya; terdapat 6 lembar uang kertas limapuluh ribuan, ini berarti ia masih perlu duaratus ribu rupiah untuk mengirimi Johan. Itu belum termasuk ongkos transport menyeberang dengan speedboat untuk tiba di Lapas dimana Johan kini berada. Paling tidak Murni mesti mencari tambahan tigaratus ribu rupiah.
Sore itu Murni sudah berdandan dan rapi. Sambil menunggu usai shalat magrib, ia menonton televisi di kamarnya. Dalam hatinya malam ini ia akan berkerja keras untuk mendapatkan uang sebagai tambahan untuk bisa mengirimi Johan. “Bilamana perlu aku begadang sampai subuh untuk bisa mendapatkan uang banyak,” gumam hati Murni.
Lamat-lamat terdengar suara shalawat dari sebuah surau yang tak seberapa jauh dari rumah kontrakan Murni. Itu tandanya shalat magrib sudah usai.
Kriiiiiing…….., HP Murni yang ia letakkan di lantai berdering. Dengan sigap Murni meraihnya, Warni, sahabatnya satu profesi menelponnya.
“Halo, kamu dimana, Mur ?” tanya Warni yang rumahnya cukup jauh dari tempat tinggal Murni.
“Aku masih di rumah, sebentar lagi keluar, kita ketemu di tempat biasa aja,” sahut Murni. “Iya, aku juga sudah mau keluar ini,” ujar Warni lalu memutus pembicaraan.
Keduanya pun malam itu mangkal di tempat biasa menanti pelanggan, pria yang butuh kehangatan sesaat. Mereka mangkal di salah satu bagian di lokasi Pasar Induk Kabupaten yang disinari listrik temaram.
“Aku besok mau menjenguk Johan, seperti biasa mengantar uang,” ungkap Murni sengaja curhat. “Oh ya, sama siapa ? tanya Warni tanpa menoleh.
“Kalau kamu mau ikut (?)” sahut Murni.
“Maaf, sepertinya aku belum bisa ikut kali ini. Aku ada keperluan pula, menjenguk anakku di tempat neneknya,” balas Warni.
“Itupun kalau uangku cukup, dan dapat rejeki malam ini,” ujar Murni sambil mendesah.
“Tak usah terlalu dipaksakan bila uangmu belum cukup, tunda saja, lagipula Johan itu belum jadi suamimu,” kata Warni yang langsung menghunjam dan menusuk perasaan Murni.
Ia sangat paham dengan sahabatnya itu, yang sepertinya tak menyukai hubungannya dengan Johan.
Mendengar perkataan Warni itu, Murni cuma terdiam. Sebelah hatinya membenarkan ucapan sahabatnya itu, namun sebelah hatinya yang lain tak bisa memungkiri bila ia sangat mencintai Johan. Apapun akan ia lakukan untuk Johan.
“Akan lebih baik jika kamu lebih memikirkan kedua putrimu. Waktu 15 tahun itu bukan waktu sebentar, paling tidak Johan itu menjalani hukumannya 13 tahun, itupun jika ia berkelakuan baik disana,” ujar Warni memberi pertimbangan seolah sengaja ingin meruntuhkan ketetapan hati Murni.
Belum sempat Murni membalas perkataan Warni, seorang pria yang selama ini merupakan langganan Murni, mendatanginya, lalu mengajaknya pergi. “War, aku duluan, nanti kita ketemu lagi disini,” Murni pamit.
Sepeninggal Murni bersama tamunya, Warni duduk dalam pikirannya sendiri, membayangkan betapa pengorbanan cinta Murni yang rela menjual tubuh dan kehormatannya demi cinta. Ia tak dapat membayangkan andai nanti Johan bebas, kemudian berpaling ke pelukan wanita dan cinta lain. “Cukuplah Murni yang mengalaminya, bukan aku,” desah Warni dalam pikirannya.