SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Menikmati Rendang Padang Kloningan Jawa - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Jumat, 21 Maret 2014

Menikmati Rendang Padang Kloningan Jawa

courtesy : info-wanita.com
Selama ini saya tahunya jika ingin membeli ataupun makan masakan Padang, tentu saja ke Rumah Padang, yang di kota saya bernama; Simpang Ampek, Salero Bundo, Takana Juo, Salero Bagindo, dan beberapa nama lainnya yang saya belum sempat menghapalnya.

Di kota tempat saya tinggal memang terdapat cukup banyak Rumah Makan Padang, ini dikarenakan banyaknya para warga pendatang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk banyak juga dari pulau Sumatera. Keberadaan warga pendatang itu kebanyakan berkerja di banyak perusahaan; bidang pertambangan dan perkebunan. Sehingga soal kuliner pun menjadikan salah satu usaha yang cukup berkembang seiring keberadaan dan perkembangan usaha di bidang lainnya.

Soal kuliner, termasuk makanan, tak dapat dipisahkan tentunya dari kebutuhan keseharian manusia. Setelah beberapa saat berkerja, maka tibalah waktunya untuk mengganti energi yang terkuras sehabis berekeja, maka tak pelak lagi kata kuncinya adalah; makan.

Soal makan, ini soal selera dan kesenangan, dan tak boleh dilupakan adalah masalah pelayanan jika berusaha di bidang kuliner; membuka rumah makan, atau dalam skala kecil warung/kedai makan.

Di kota tempat saya tinggal, kebanyakan dihuni oleh etnis Banjar, keturunan Bugis, Jawa, Madura, dan etnis lainnya yang merupakan pendatang.
Masakan etnis yang sangat dominan tentu saja masakan khas Banjar dan Bugis. Selain itu karena banyaknya etnis Jawa sebagai pendatang (transmigran di era Orba), maka masakan khas Jawa juga mudah ditemukan. Adapun masakan khas Padang berada diantara masakan khas beberapa etnis tersebut.


Namun ada yang membuat masakan Padang terasa istimewa menurut saya. Meski etnis Minang (Padang kan nama ibukota Sumbar) setahu tak cukup banyak berdomisili di kota saya, namun ternyata yang jadi pengunjung dan penikmat masakan dari “nagari Malin Kundang” ini hampir semua etnis. Itulah makanya terdapat cukup banyak rumah makan Padang berdiri.

Selain banyak pilihan masakan yang dihidangkan di Rumah Makan Padang, pelayanannya pun lebih cepat daripada jika pesan di rumah makan masakan lain. Sehingga mereka yang benar-benar sedang kondisi lapar dan butuh segera makan, masuk Rumah Makan Padang adalah solusi yang paling tepat (hanya kalah cepat dari nasi bungkus yang dijual di tepi jalan, hehe).

Namun ini pengalaman saya, ternyata masakan Padang tak hanya dijual di Rumah Makan khusus masakan Padang.
Saya justru pernah menikmati masakan Padang di rumah makan yang bukan Rumah Makan Padang. Dan pemilik dan pengelola rumah makan tersebut justru berasal dari etnis Jawa yang berbicara dengan logat yang masih kental alias medhok.


Ceritanya waktu itu saya diajak seorang teman untuk makan siang. Teman saya bilang ingin makan rendang. Mendengar nama rendang, saya sangat senang (memang suka sih). Maka diajaklah saya ke rumah makan tersebut.
Singkatnya kami pun makan disana. Namun karena sudah sering makan rendang di Rumah Makan Padang (asli, pemilik dan pengelolanya orang Minang), saya pun sudah bisa membedakan rasa masakannya. Rendang yang saya nikmati kali ini terasa kurang “greget”, ada sesuatu yang saya rasakan kurang. Saya jadi curiga, apalagi mendengar gaya bicara pengelola rumah makan.


Usai makan siang, saya tanya ke teman siapa pemilik dan pengelola rumah makan tempat kami makan siang itu. Teman saya menjawab, “bu haji itu orang Surabaya.”
Pantas saja pikirku rasa masakan rendangnya kurang greget.
“Sudahlah. Yang penting bentuk dan warnanya masih bisa disebut rendang, meski rasanya agak beda sedikit,” ujar teman sambil berkelakar.


Dalam hati saya membenarkan ucapan teman itu. Hanya saja saya sedikit kesal diantara cukup banyak Rumah Makan Padang yang membuka pintunya lebar-lebar untuk pengunjung, kami malah memasuki Rumah Makan Padang hasil kloningan Jawa, hehehe……….(Maaf, tak ada maksud ke arah SARA).