Malam itu usai shalat isya dan mengaji di sebuah surau dekat rumah, aku bergegas menghabiskan makan malamku.
Rupanya sedari tadi ibuku memperhatikan. “Kok makannya buru-buru gitu,” tegur ibuku.
Dengan mulut yang penuh dengan gumpalan nasi dan lauknya aku menjawab, “teman-teman ngajak nonton tipi di rumah pak Camat, malam ini acaranya rame, film detektif Canon.”
“Oh ya, pulangnya jangan larut malam, besok kan masih harus sekolah,” pesan ibu.
Usai makan, aku pun mengambil sarung di lemari, persiapan untuk menghindari dinginnya udara malam. Setelah pamit ke ibu, aku pun berlari keluar rumah mendatangi teman-teman yang rumahnya berdekatan denganku. Akhirnya bekumpullah; aku, amir, Rusdi, Udin, dan Sabri. Kami mesti jalan kaki menuju rumah pak Camat, orang satu-satunya di daerah kami yang memiliki tipi, hitam putih, yang ditempatkan di ruang tamu.
Lumayan jauh ke rumah pak Camat, lebih dari 1 kilometer jaraknya. Tapi yang kesana bukan kami saja, di jalan kami bertemu beberapa warga yang juga akan menuju kesana menonton tipi.
Di daerah kami pada waktu itu, di sebuah ibukota Kecamatan di pelosok Kalimantan Selatan, di tahun 1970-an, belum ada pembangkit listrik. Untuk menonton tipi, pak Camat menghidupkan mesin generator.
Pak Camat menghidupkan mesin generator tersebut dari sebelum maghrib hingga tengah malam antara pukul 12.00, atau pukul 01.00.
Setiap malam di rumah pak Camat selalu ramai oleh warga yang datang menonton tipi. Maklum tak ada lagi hiburan selain mendengar radio dan menyetel tape recorder.
Tipi di rumah pak Camat ditempatkan di atas meja di ruang tamu. Para penonton tipi menyaksikan tayangan dari pelataran rumah yang dibatasi oleh jendela kaca. Terkadang kalau pak Camat lagi berkenan, sebagian warga disuruh masuk langsung ke dalam rumah yang ruang tamunya tak seberapa luas itu.
Aku menengadah ke atas langit, cerah, tak ada awan hitam malam ini, bintang-bintang banyak bertaburan meski tak ada cahaya bulan. Kami menyusuri jalan dari tanah liat dengan penerangan sebuah lampu senter yang dibawa oleh salah seorang dari kami.
Sambil berjalan menuju tempat tujuan kami bersenda gurau, gurauan khas anak-anak kampung tentunya.
Sesampai di rumah pak Camat, tampak puluhan orang yang sudah lebih duluan menempati pelataran, tampak pula beberapa orang yang duduk di ruang tamu. Pak Camat selaku tuan rumah beserta istrinya tak tampak, hanya kedua anak lelakinya yang ikut gabung di ruang tamu, itu pun duduk di kursi, sementara penonton yang lain lesehan di lantai.
Kami pun masing-masing mencari tempat kosong agar bisa menonton dengan nyaman.
Gambar tipi yang kami tonton terkadang bersih dan jernih, tak jarang kabur, berbintik-bintik seperti gambar air hujan sedang turun. Kualitas gambar tergantung cuaca, maklum tiang antenanya saja terdiri dari batang bambu yang disambung beberapa bilah agar tinggi, ditahan dengan tali ke beberapa arah agar tidak roboh. Dan tak jarang untuk memperoleh gambar tipi yang bagus, tiang antena diputar perlahan sampai menemukan gambar yang diinginkan.
Tak ada pilihan lain agar tak ketinggalan informasi dan hiburan. Biar kualitas gambar tipi yang kurang bagus, syukurlah pak Camat cukup berbaik hati memperbolehkan kami menonton.
Acara tayangan tipi pun tak bisa dirubah, kecuali cuma bisa menonton acara TVRI.
Acara yang paling kami gemari kala itu adalah; Mana Suka Siaran Niaga, yang berisikan tayangan iklan berbagai produk. Selain itu film seri seperti; The Bionic Woman, The Six Million Dollar Man, Canon, Star Trex dan The Chase. Jika hari minggu siang, filmnya yang masih kuingat adalah; Little House in the Prairie, Land of The Giant, dan Iron Man, yang dibintangi oleh Ronald Reagan, Mantan Presiden USA.
Jika saja sempat tak pergi ke surau, aku masih bisa nonton film kartun; Tom and Jerry, Micky Mouse, Scooby Doo, Sealab 2020, Gemini Man, Dynomut Dog Wonder, Huckleberry Finn, dan Kum Kum.
Jika sedang menonton tayangan tipi sekarang, aku suka terkenang akan perjuanganku dulu untuk menonton tipi. Tak jarang untuk sebuah kesenangan, aku dan teman-teman harus rela kehujanan untuk menonton tipi, serta menahan kantuk.
Rupanya sedari tadi ibuku memperhatikan. “Kok makannya buru-buru gitu,” tegur ibuku.
Dengan mulut yang penuh dengan gumpalan nasi dan lauknya aku menjawab, “teman-teman ngajak nonton tipi di rumah pak Camat, malam ini acaranya rame, film detektif Canon.”
“Oh ya, pulangnya jangan larut malam, besok kan masih harus sekolah,” pesan ibu.
Usai makan, aku pun mengambil sarung di lemari, persiapan untuk menghindari dinginnya udara malam. Setelah pamit ke ibu, aku pun berlari keluar rumah mendatangi teman-teman yang rumahnya berdekatan denganku. Akhirnya bekumpullah; aku, amir, Rusdi, Udin, dan Sabri. Kami mesti jalan kaki menuju rumah pak Camat, orang satu-satunya di daerah kami yang memiliki tipi, hitam putih, yang ditempatkan di ruang tamu.
Lumayan jauh ke rumah pak Camat, lebih dari 1 kilometer jaraknya. Tapi yang kesana bukan kami saja, di jalan kami bertemu beberapa warga yang juga akan menuju kesana menonton tipi.
Di daerah kami pada waktu itu, di sebuah ibukota Kecamatan di pelosok Kalimantan Selatan, di tahun 1970-an, belum ada pembangkit listrik. Untuk menonton tipi, pak Camat menghidupkan mesin generator.
Pak Camat menghidupkan mesin generator tersebut dari sebelum maghrib hingga tengah malam antara pukul 12.00, atau pukul 01.00.
Setiap malam di rumah pak Camat selalu ramai oleh warga yang datang menonton tipi. Maklum tak ada lagi hiburan selain mendengar radio dan menyetel tape recorder.
Tipi di rumah pak Camat ditempatkan di atas meja di ruang tamu. Para penonton tipi menyaksikan tayangan dari pelataran rumah yang dibatasi oleh jendela kaca. Terkadang kalau pak Camat lagi berkenan, sebagian warga disuruh masuk langsung ke dalam rumah yang ruang tamunya tak seberapa luas itu.
Aku menengadah ke atas langit, cerah, tak ada awan hitam malam ini, bintang-bintang banyak bertaburan meski tak ada cahaya bulan. Kami menyusuri jalan dari tanah liat dengan penerangan sebuah lampu senter yang dibawa oleh salah seorang dari kami.
Sambil berjalan menuju tempat tujuan kami bersenda gurau, gurauan khas anak-anak kampung tentunya.
Sesampai di rumah pak Camat, tampak puluhan orang yang sudah lebih duluan menempati pelataran, tampak pula beberapa orang yang duduk di ruang tamu. Pak Camat selaku tuan rumah beserta istrinya tak tampak, hanya kedua anak lelakinya yang ikut gabung di ruang tamu, itu pun duduk di kursi, sementara penonton yang lain lesehan di lantai.
Kami pun masing-masing mencari tempat kosong agar bisa menonton dengan nyaman.
Gambar tipi yang kami tonton terkadang bersih dan jernih, tak jarang kabur, berbintik-bintik seperti gambar air hujan sedang turun. Kualitas gambar tergantung cuaca, maklum tiang antenanya saja terdiri dari batang bambu yang disambung beberapa bilah agar tinggi, ditahan dengan tali ke beberapa arah agar tidak roboh. Dan tak jarang untuk memperoleh gambar tipi yang bagus, tiang antena diputar perlahan sampai menemukan gambar yang diinginkan.
Tak ada pilihan lain agar tak ketinggalan informasi dan hiburan. Biar kualitas gambar tipi yang kurang bagus, syukurlah pak Camat cukup berbaik hati memperbolehkan kami menonton.
Acara tayangan tipi pun tak bisa dirubah, kecuali cuma bisa menonton acara TVRI.
Acara yang paling kami gemari kala itu adalah; Mana Suka Siaran Niaga, yang berisikan tayangan iklan berbagai produk. Selain itu film seri seperti; The Bionic Woman, The Six Million Dollar Man, Canon, Star Trex dan The Chase. Jika hari minggu siang, filmnya yang masih kuingat adalah; Little House in the Prairie, Land of The Giant, dan Iron Man, yang dibintangi oleh Ronald Reagan, Mantan Presiden USA.
Jika saja sempat tak pergi ke surau, aku masih bisa nonton film kartun; Tom and Jerry, Micky Mouse, Scooby Doo, Sealab 2020, Gemini Man, Dynomut Dog Wonder, Huckleberry Finn, dan Kum Kum.
Jika sedang menonton tayangan tipi sekarang, aku suka terkenang akan perjuanganku dulu untuk menonton tipi. Tak jarang untuk sebuah kesenangan, aku dan teman-teman harus rela kehujanan untuk menonton tipi, serta menahan kantuk.