SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Wartawan dan Premanisme Jurnalistik - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Sabtu, 01 Maret 2014

Wartawan dan Premanisme Jurnalistik

Teman saya seorang pekerja pers, atau sebut saja wartawan, ketika diajak oleh rekan-rekannya sesama profesi agar bergabung dalam sebuah kelompok profesi, ia menolak.
Teman saya itu dikenal cukup kritis meskipun belum bisa dibilang idealis mengungkapkan kenapa ia menolak gabung. Menurutnya kelompok, perkumpulan, maupun organisasi sekalipun tak jarang digunakan untuk tujuan-tujuan yang hanya lebih mengedepankan kepentingan mereka yang berkumpul disitu daripada kepentingan umum. Teman saya itu rupanya sudah sangat apriori dengan yang namanya kumpulan profesi. “Bila bergerak sendiri itu dapat duitnya cuma bisa sedikit, karena powernya kecil. Tapi bila banyak otomatis powernya besar, dan cari duitnya juga bisa banyak dan besar,” katanya berasumsi.

Ia cerita panjang lebar tentang kondisi para pekerja pers di daerahnya kepada saya.
Menurutnya beberapa tahun lalu puluhan wartawan membentuk semacam kelompok dengan tujuan agar sesama wartawan bisa kompak dalam menghadapi berbagai permasalahan menyangkut tugas dan profesi. Namun pada kenyataannya kelompok tersebut oleh beberapa pengurusnya digunakan untuk pressure ke Pemda, Pejabat, serta para pelaku usaha. Jadinya kelompok tersebut tak bedanya dengan kumpulan para preman yang memungut upeti.
Teman saya itu menyebutkan beberapa rekannya wartawan malah ada yang minta-minta proyek ke Pemda setempat, dan tentunya saja ini dilakukan dengan pressure juga bila tak mau disebut intimidasi.
Biasanya mereka mengancam akan mencari-cari kesalahan dan memberitakan pejabat yang bersangkutan bila tak bersedia memberi proyek. Ada pula menurut teman saya itu beberapa rekannya yang memungut jatah dari tiap pengusaha yang nakal. Namun kebanyakan wartawan yang bertindak begitu adalah mereka yang tak memperoleh gaji dari perusahaan media tempatnya bekerja. Dan dari beberapa orang wartawan yang kebetulan saya kenal, mereka mengaku tak diberi gaji maupun fasilitas> Bahkan mereka itu untuk bergabung menjadi wartawan mesti merogoh kocek membayar untuk sebagai deposit jaminan agar bisa dikrimi Koran, yang nota bene dalam hal ini di Koran tersebut terdapat berita yang mereka cari dan kirim. Istilahnya mereka mencari dengan biaya dan tenaga sendiri, kemudian berita diterbitkan, mereka pula yang beli korannya. Kondisi beginilah yang memicu para wartawan melakukan praktik premanisme jurnalistik. Kondisi seperti kebanyakan diciptakan oleh penerbitan media cetak yang mana wartawannya tak digaji. Dengan hanya diberi surat tugas dan ID Card (kartu pers), wartawan dilepas layaknya sukarelawan yang diberi senjata dan amunisi.

Nah, mereka yang seperti itulah di daerah saya yang kemudian berhimpun dalam salah satu kepengurusan daerah dari organisasi profesi wartawan tertua di Indonesia. Tujuan mereka itu apalagi kalau bukan ingin mempertahankan eksistensi dan supremasi, serta lahan yang selama ini sudah mereka dapatkan dan bina sekian lama.
Lalu apa yang bisa diharapkan oleh publik dari mereka itu, para wartawan dengan praktik premanisme jurnalistik ?