courtesy : choluqbaya.blogspot.com |
Beberapa hari jelang lebaran lalu saya menelpon seorang teman mantan jurnalis yang pindah pekerjaan menjadi PNS, dan kini menjabat sebagai Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) di kabupaten kami.
Setelah saling menanyakan keadaan dan kabar masing-masing, teman ini bercerita atau lebih tepatnya curhat ke saya.
Sudah jadi tugas dan fungsi Bidang Kehumasan di instansi atau lembaga manapun, dipastikan bersentuhan dan menangani para Wartawan atau Jurnalis.
Menurut teman saya ini, beberapa Pelaku Pers itu memintanya untuk menyediakan paket lebaran berikut ‘amplop’ sebagai bentuk THR.
Dikarenakan di instansinya tersebut tak ada anggaran untuk itu, tepatnya tak diperbolehkan, maka sudah pasti teman saya tak dapat memenuhi permintaan beberapa Jurnalis itu.
Menurut teman saya, mereka itu aneh, bersikap pura-pura tidak tahu dan tidak mengerti, atau malah tidak mau tahu. Untuk urusan paket lebaran dan uang THR, sama sekali bukan menjadi kewajiban Pemerintah mengeluarkannya untuk para Jurnalis. Mereka seharusnya memintanya ke masing-masing perusahaan media dimana mereka berkerja.
Karena permintaan mereka tak dapat dipenuhi oleh teman saya itu, beberapa Jurnalis pun bahkan menyuruh teman saya agar mengundurkan diri saja sebagai Kepala Bagian Humas.
Memang beberapa kenalan Jurnalis yang bertugas di Kabupaten kami beberapa hari jelang lebaran, kasak kusuk mencari para Pejabat dan Pengusaha, tujuannya satu; minta THR. Dan biasanya usai lebaran mereka para ‘pemburu THR’ ini saling bercerita diantara mereka terkait perolehan selama perburuan; Pejabat Anu memberi sekian, Pejabat A sekian, Pengusaha B sekian, dan seterusnya, yang tentunya diantara pemberi itu tak ada yang sama jumlahnya, tergantung kepada siapa diberikan.
Ini terjadi di Kabupaten kami, dan tampaknya sudah semacam tradisi, tak tahu jika yang seperti ini juga terjadi di daerah lainnya. Jika kondisinya tak berbeda, maka ini menjadi beban tersendiri bagi Pejabat dan Pengusaha.