Jujur saja di usia yang sudah setengah abad ini saya belum paham dan mengerti apa dan bagaimana itu ideologi atau faham komunisme. Padahal beberapa buku yang dikarang dan ditulis oleh mereka yang berfaham komunisme seperti Tan Malaka, Semaoen, Karl Marx dan Frederick Nietcshe sudah pernah saya baca.
Kenapa saya membaca buku-buku dari para Penulis tersebut, karena saya sangat ingin tahu dan terobsesi akan pemikiran mereka. Obsesi saya ini muncul saat saya duduk di bangku SMA di tahun 1980-an, apalagi setelah seorang Serdadu ABRI (sebutan waktu itu) masuk ke kelas saya dan menanyai murid satu per satu apakah kami tahu dan mengerti apa dan bagaimana itu PKI dan Komunis.
"PKI itu adalah singkatan dari Partai Komunis Indonesia, sedangkan Komunis saya sama sekali tak tahu dan tak mengerti karena saya lahir setelah beberapa tahun PKI memberontak," itu jawaban polos saya yang membuat tidak saja Serdadu itu terdiam tapi juga membuat Wali Kelas dan Kepala Sekolah merengut.
Itu pengakuan jujur saya waktu itu. Meski saya telah dicekoki oleh pelajaran sejarah tentang beberapa kali pemberontakan Partai Komunis di Indonesia, saya tak begitu saja mau percaya. Menurut saya wajar saja pihak yang kalah disudutkan oleh pihak yang menang (Orde Baru), andai PKI yang menang cerita dan sejarahnya tentu berbalik.
"Kamu tahu tidak kalau PKI itu kejam, suka membunuh siapa saja yang tak sepaham termasuk membunuh para Jenderal ?" tanya Serdadu itu lagi.
"Mana saya tahu pak, waktu itu kan saya belum lahir ke dunia ini, mungkin ayah ibu saya juga tak tahu karena mereka tinggalnya di pelosok kampung," jawab saya sekenanya.
Serdadu dari Koramil setempat itu akhirnya beralih menanyai murid lainnya. Dan setelah selesai menanyai satu per satu, ia akhirnya menjelaskan betapa kejamnya PKI saat itu. Saya tak fokus dengan penjelasan Serdadu itu karena saya pikir sejarah yang ia jelaskan itu adalah versi pemenang, bukan sejarah sebenarnya yang adil dan fair.
Setelah reformasi saya berkesempatan memiliki buku-buku antara lain Karya Tan Malaka, Bapak Perjuangan Indonesia yang berjudul Madilog; Materialisme, Dialektika dan Logika, mesti isi bahasa dari buku ini sudah menggunakan EYD dan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, saya tetap kesulitan memahaminya. Apalah lagi dengan buku terjemahan karya Karl Marx yang dirampungkan oleh Frederick Nietcshe yang berjudul Das Kapital, yang konon merupakan kitab sucinya pengikut faham Komunisme; malah membuat saya puyeng memahaminya.
Nah, saya sudah membaca buku-buku yang sangat dilarang di era Rezim Orde Baru itu, saya kesulitan memahami pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh para Penulisnya, bagaimana mungkin seseorang yang cuma dengar saja bahwa Komunisme itu jahat, kejam dan sebagainya. Lagi pula faham Komunisme ini sama sekali tak pernah diajarkan di sekolah manapun di negeri ini.
Jangankan mau mengerti dan memahami faham Komunisme, perbedaan antara faham Sosialisme dan Komunisme saja saya bingung.
Saya membaca buku-buku tersebut bukan berarti saya ingin menjadi seorang penganut Komunisme. Ini sama saja dengan seseorang Non Muslim yang membaca dan mempelajari tentang Agama Islam; belum tentu ia berniat ingin menjadi seorang Muslim atau penganut Islam.
Akhir-akhir ini kata 'PKI' ini kembali santer terdengar menjelang Pemilu. Tudingan sebagai pengikut faham maupun simpatisan PKI dijadikan peluru untuk menembak musuh agar klepek-klepek tak dapat simpati. Yang lucu itu bila tudingan PKI dialamatkan ke seseorang yang saat pemberontakan PKI di tahun 1965 ia masih Balita yang tak tahu apa-apa, memangnya ada Balita yang menjadi dan diterima sebagai Anggota PKI pada waktu itu ? Lucu sekali bila yang lahir pasca tahun 1965 dituding PKI. Dituding jadi simpatisan PKI saja mustahil, karena Parpol itu sudah lama dilarang di Indonesia. Ini berbeda jika PKI itu masih eksis seperti Parpol yang ada sekarang, kemungkinan ada saja yang jadi simpatisan, pendukung dan anggotanya.
Sejarah mencatat yang pernah melakukan pemberontakan di Indonesia ini tidak saja PKI, tapi juga Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau DI/TII pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang nota bene adalah teman satu kos Sang Proklamator, Bung Karno. Terus pemberontakan PRRI/Permesta yang dipimpin oleh Letkol Herman Ventje Sumual di Sulawesi Utara, pemberontakan yang dipimpin oleh Andi Aziz, pemberontakan Daud Beureuh di Aceh, ada pula pemberontakan Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT) yang dipimpin oleh Letnan Dua Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan.
Kenapa yang selalu dipakai untuk menuding musuh politik itu PKI ? Kenapa tidak DI/TII, PRRI, KRYT dan lainnya, padahal sama-sama pemberontak dan sama saja levelnya (?)
Baiklah saya simpulkan saja sendiri menurut versi pemikiran pribadi saya kenapa PKI selalu yang dimunculkan ? Ini dikarenakan PKI ini didukung oleh beberapa negara besar dan kuat seperti Rusia dan Tiongkok, juga mendapat apresiasi dari negara Komunis lainnya seperti Kuba dan Korea Utara, sehingga negara yang telah menerapkan sistem ideologi liberal kapitalis tak rela jika sampai terkalahkan dan tersisihkan oleh faham yang bercorak komunisme.
"Ya iyalah orang sudah terlanjur senang dengan sistem dan gaya liberal kapitalis dan bergaya borjuis, mana ada yang mau susah dengan sistem komunisme yang serba diatur oleh negara dari tetek bengek paling kecil hingga yang besar."
Lalu dimana takutnya terhadap komunisme yang sampai dikategorikan bahaya latent (tersembunyi) ini ?
Tanya saja tiap orang di negeri ini apakah mereka mau diatur dari mulai mendapatkan Sembako hingga mencari nafkah dan lainnya, saya pastikan tak ada yang mau, jauh lebih enak dan nyaman dengan faham dan sistem liberal kapitalis, sehingga seorang Proletar bisa bergaya Borjuis.
Saya pribadi sudah sangat bersyukur hidup di Indonesia; yang mentolerir berbagai faham terkecuali Komunisme, sebut saja disini faham yang boleh hidup antara lain Sekularisme, Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme (meski sangat kecil), juga faham yang berafiliasi pada keagamaan. Rakyat negeri ini yang sudah melek teknologi informasi pasti tak ingin hidup mereka seperti rakyat di Korea Utara yang Komunis dibawah Rezim yang Otoriter yang sempat diterapkan di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun meski bukan Rezim Komunisme tapi praktiknya nyaris mirip (bukan sama).