SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Quo Vadis Sertifikasi Kompetensi Jurnalis ? - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Senin, 07 Oktober 2019

Quo Vadis Sertifikasi Kompetensi Jurnalis ?

Imi Surya Putra
Saat mengalami sakit lalu memutuskan memanggil atau mendatangi seorang Paramedis atau kalau di kampung biasanya disebut Mantri, dan meminta ia menyembuhkan sakit Anda dengan memberikan suntikan maupun obat, dan Anda percaya saja dengan Mantri tersebut dan yakin penyakit Anda akan sembuh bukan sebaliknya memikirkan risiko kesalahan yang bisa saja dilakukan Mantri itu; Anda bukannya jadi sembuh tapi malah penyakit Anda bertambah parah atau bahkan bisa menyebabkan Anda mati ? Pernahkan Anda terpikir menanyakan kepada seorang Paramedis atau Mantri langganan Anda itu apakah ia memiliki sertifikasi kompetensi yang memperbolehkan ia memberikan pelayanan maupun tindakan medis terhadap Anda ?
Kebanyakan dari Anda pasti mengatakan tidak atas pertanyaan di atas, dan Anda sebagian besar dipastikan percaya begitu saja.

Ketika Anda sudah memiliki cukup uang untuk membangun rumah idaman Anda, apakah sebagian besar dari Anda akan pergi ke seorang Arsitek terkenal untuk merancang dan membangun rumah Anda ?
Sebagian besar dari Kita pasti tidak, terkecuali Kita akan membangun suatu bangunan besar dan megah barulah Kita akan mempercayakannya kepada seorang Arsitek.
Kalau hanya untuk membangun rumah tempat tinggal saja dipastikan sebagian besar dari Kita akan mencari dan memanggil seorang Tukang Kayu, Tukang Batu dan sejenisnya untuk mendirikan dan membangun rumah idaman Kita tersebut sesuai keinginan Kita.
Lalu pernahkah Kita menanyakan kepada para Tukang itu apakah Mereka semua memiliki sertifikasi kompetensi untuk mendirikan membangun rumah atau bangunan ? Jawaban dari pertanyaan di atas Saya pastikan sebagian besar menjawab tidak. Padahal rumah yang akan Kita tempat tinggali itu untuk melindungi diri Kita dari berbagai macam gangguan dari luar. Bagaimana jika justru bangunan yang Kita tempat tinggali itu atapnya runtuh, dindingnya jebol, lantainya ambruk dan sebagainya yang dapat membahayakan diri Kita penghuni rumah dikarenakan para Tukang yang membangunnya tak memiliki sertifikasi kompetensi ?

Nah, itu 2 contoh yang saya kemukakan sebagai perenungan dan pemikiran Kita terkait sertifikasi kompetensi. Dan Saya sengaja mengambil perumpamaan terhadap para pelaku pekerjaan yang sangat rentan menimbulkan risiko terkait keselamatan nyawa manusia.

Lalu apakah seorang Jurnalis atau Wartawan memerlukan sertifikasi kompetensi terkait pekerjaannya dalam menulis pemberitaan maupun informasi yang akan disampaikan ke publik ?
Jawaban Saya pribadi sebagai seorang Jurnalis adalah; tidak, yang bisa saja diartikan tidak mesti atau bahkan tidak perlu. Kenapa ?

Inilah jawaban atas pertanyaan di atas yang perlu Kita simak dan disimpulkan berdasarkan fakta yang terjadi selama ini.
Seorang Jurnalis atau Wartawan tak mesti memiliki sertifikasi kompetensi yang menyatakan ia layak atau tidak layak menjalani pekerjaannya, karena ia hanyalah bertugas mencari, mengumpulkan, menghimpun keterangan dan data, lalu menuangkannya ke dalam suatu tulisan utuh yang sesuai dengan SOP (Standard Operation Procedure) yang telah ia ketahui dan sepakati serta ia patuhi yakni Undang Undang yang mengaturnya serta Kode Etik Jurnalistik sebagai panduannya, kemudian mengirimkan tulisan tersebut ke Redaksi media ia berkerja, dan tugasnya pun selesai.
Selanjutnya pihak Redaksi yang menerima tulisan seorang Jurnalis atau Wartawan lah yang akan melakukan pemeriksaan dan koreksi serta menentukan apakah suatu tulisan sudah memenuhi standar jurnalistik untuk layak diterbitkan atau diposting, karena ini menyangkut tanggungjawab jika pemberitaan atau informasi tersebut menimbulkan masalah di kemudian hari.

Perlu diketahui, suatu pemberitaan yang telah diterbitkan ataupun diposting oleh satu media bukanlah tanggungjawab dari Jurnalis atau Wartawan yang menulis dan mengirimkannya ke Redaksi, tapi menjadi tanggungjawab Pemimpin Redaksi, Redaktur Pelaksana dan Editor atau Penyunting Naskah, karena keputusan mereka inilah suatu berita atau informasi bisa terbit dan posting di media. Dan mereka lah yang bertanggungjawab secara berjenjang atas dampak pemberitaan yang telah terbit dan diposting.

Nah, kalaupun diperlukan sertifikasi kompetensi terhadap para pelaku jurnalistik, maka mereka yang pengambil keputusan lah yang mestinya dikenakan kepemilikan sertifikasi kompetensi.

Berapa banyak orang hebat di negeri ini yang melakukan pekerjaan dan menekuni bidangnya dan berhasil tanpa pernah memiliki yang namanya sertifikasi kompetensi. Sebut saja Buya Hamka, apakah beliau pernah ditanya terkait kompetensinya mennulis banyak novel sedangkan beliau dikenal sebagai Ulama. Lalu Adam Malik yang berlatar belakang Jurnalis, beliau pun tak pernah ditanya terkait kompetensinya sebagai Wakil Presiden dan Menteri Luar Negeri. Bob Sadino, pengusaha nyentrik ini apalagi sama sekali tak pernah menuntut ilmu bisnis dan manajemen di sekolah dan universitas manapun tapi tak ada yang meragukan kesuksesannya di bidang usaha dan bisnis. Serta yang tak kalah hebohnya seorang Susi Pujiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan yang cuma tamatan SMP namun kerja dan prestasinya tak diragukan, apakah beliau ini pernah ditanya sertifikasi kompetensi terkait pekerjaannya ? Tidak pastinya.

Sertifikasi kompetensi itu apa ?
Ia hanyalah suatu 'alat' untuk membuat seseorang atau suatu kelompok agar tampak eksklusif dan seolah hebat diantara banyak orang. 

Ketua Dewan Pers, Muhammad Nuh mengibaratkan lembaga pers seperti perusahaan pengembang perumahan yang menurutnya tidak saja harus memiliki legalitas perusahaan tapi harus memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) kalau akan mendirikan rumah. Dan perumpamaan itu akan saya kembalikan pula, jika suatu bangunan rumah roboh maka yang disalahkan bukan para Tukang Kayu dan Tukang Batunya tapi Kepala Tukang ataupun Arsiteknya. (Red)